TERAS7.COM – Hukum Indonesia sudah dicederai oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, hal itulah yang diungkapkan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan dalam konfrensi pers yang dilakukan di sekretariat Walhi Kalsel di Banjarbaru.
Walhi Kalsel menyatakan tidak terima atas putusan sidang yang dikeluarkan oleh PTUN Jakarta.
Pasalnya, PTUN Jakarta telah menolak gugatan terhadap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan perusahaan pertambangan PT Mantimin Coal Mining (MCM).
Penolakan gugatan oleh PTUN Jakarta tersebut dinyatakan pada tanggal 22 Oktober 2018 oleh majelis hakim, dengan alasan bahwa PTUN Jakarta tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut.
Pada awalnya, gugatan terkait terbitnya Surat Putusan Menteri ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegitan Perjanjian Karya Perusahaan Pertamabangan Batu Bara (PKP2B) untuk PT MCM menjadi Tahap Kegitan Operasi Produksi di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Balangan hingga Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan dengan luas konsensi 5.908 Hektar hingga tahun 2034.
Direktur Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono menilai, putusan tersebut menciderai hukum di Indonesia, dimana mayoritas masyarakat setempat sangat jelas menolak adanya operasi pertambangan di kawasan pegunungan meratus, satu-satunya kawasan hutan yang tersisa di bumi Kalimantan Selatan.
“Saat turunnya surat putusan dari kementrian ESDM yang menyertakan AMDAL didalamnya, padahal masyarakat setempat tidak pernah diberitahu akan ada operasi pertambangan, ini jelas keputusan kementerian sepihak tanpa persetujuan masyarakat setempat,” ujarnya.
Kisworo Dwi Cahyono kecewa atas penolakan gugatan, ia pun menduga ada sesuatu dibalik penolakan tersebut.
Pada tanggal 13 Juli 2018 lalu terang Kisworo, sempat dilakukan sidang ditempat yang dihadiri tiga majelis hakim dan panitera di Lokasi Desa Natik, dan anehnya tanpa dihadiri pihak tergugat.
“Ini ada apa sebenarnya, padahal majelis hakim saat itu juga sudah meilhat lokasi, di sana ada masyarakat, ada pemerintah desa, ada jalan yang dibangun negara, ada kantor desa, ada sekolah, ada sungai yang akan terancam, ada bendungan Batang Alai yang akan terancam dan ekosistem yang harus dilindungi, Meratus adalah satu satunya rumah yang harus dilindungi,” katanya.
Semangat Walhi dan masyarakat Kalimantan Selatan untuk menyelamatkan Meratus lanjutnya, tidak putus hanya dengan gugatan ditolak.
Keindahan alam dan hutan serta kekayaan yang dimiliki Bumi Murakatra HST tidak akan sebanding dengan operasi pertambangan yang akan membabat habis hutan tropis yang tersisa di Kalimantan Selatan.
Menyikapi putusan itu, pria gondrong yang akrab disapa Bang Kis ini melanjutkan, kajian ekologi, kondisi hutan Kalimantan Selatan yang semakin sedikit hingga berdampak pada kerusakan hutan dan alam yang diakibatkan oleh pertambangan, Walhi Kalimantan Selatan melakukan gugatan dengan proses sidang selama 8 bulan dengan hasil gugatan ditolak serta kekuatan mayoritas masyarakat kalimantan Selatan melok adanya opesi pertmbangan, Walhi akan melakukuna bangding.
“Negara kita negara hukum, kita, Walhi akan kembali menempuh jalur hukum, dalam satu atau dua minggu ini kita akan mengumpulkan data lebih banyak lagi serta melengkapi berkas untuk mengajukan banding ke PTUN,” tambahnya.
Dengan slogan menyelamatkan Meratus menyelamatkan kehidupan, Walhi juga mempertanyakan sikap pemerintah daerah maupun Pemerintah Provinsi Kalsel yang hingga saat ini tidak pernah menyatakan sikap atas penolakan pertambangan, khususnya Gubernur Kalimantan Selatan yang dinilai tidak pernah memberi stateman untuk menolak pertambagan Meratus.
“Kita juga mempertanyakan sikap pemerintah, khsusnya pemerintah provinsi, sampai saat ini kita tidak pernah mendengar Paman Birin menyatakan untuk menolak pertambangan di Meratus.
“Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak pernah ada sikap, padahal Paman Birin sering jalan-jalan naik gunung,” tegasnya.
Ditempat yang sama, Ketua Gerakan Penyelamatan Bumi Murakata (Gembuk), Rumli menyampaikan, penolakan gugatan oleh PTUN bukan sebuah pukulan yang keras, melainkan semangat baru masyarakat untuk terus menyatakan sikap melindungi Meratus dari pertambangan.
“HST satu-satunya daerah di Kalimantan Selatan yang menolak pertambangan, Sampai saat ini kita sudah mendapat 4000 lebih dukungan dari masyarakat menolak pertambangan di Pegunungan Meratus, karena kita sudah melihat dimana daerah daerah yang ada aktifitas pertambangan berdampak pada kondisi alam yang rusak hingga mengakibatkan banjir,” tambahnya.
Rumli melanjutkan, Pegunungan Meratus merupakan kehidupan bagi masyarakat sekitar, dimana 80 % masyarat bekerja dan bergantung dengan alam, baik petani padi, karet, rotan dan lain sebagainya yang bersumber dali alam.
“Bisa dibayangkan apabila Meratus di tambang, dikeruk, masyarakat setempat akan hidup dengan apa. Mestinya kita melihat masa depan anak cucu kita, apa yang bisa kita wariskan kepada mereka, setidaknya perjuangan kita masyarakat Kalimantan Selatan melindungi Meratus ini menjadi peninggalan untuk kehidupan dimasa depan,” tutupnya.