TERAS7.COM – Kerajaan Banjar atau Kesultanan Banjar merupakan salah satu kerajaan yang sempat berdiri di Kalimantan Selatan sejak didirikan oleh Pangeran Samudera atau kemudian hari dikenal sebagai Sultan Suriansyah pada tahun 1520.
Kerajaan yang merupakan pelanjut dari Kerajaan Negara Dipa dan Kerajaan Negara Daha ini tak hanya berkuasa di Kalimantan Selatan saja, tapi pengaruhnya juga terasa hingga Sambas Kalimantan Barat, Kalimantan Utara dan pedalaman Kalimantan.
Namun pecahnya perang Banjar pada tahun 1859 disusul dengan penghapusan secara sepihak oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1860 telah memusnahkan banyak peninggalan kerajaan, salah satunya Keraton Kesultanan Banjar di Kota Martapura yang dibakar habis oleh Belanda.
Walaupun musnah, akan tetapi peninggalan Keraton Kesultanan Banjar ini masih bisa ditemukan, salah satunya adalah Meriam kuno di depan Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Banjar yang saat ini sudah menjadi cagar budaya.
Kepala Bidang Kebudayaan Disbudpar Kabupaten Banjar, Tisnohadi Harimurti saat ditemui Teras7.com di ruang kerjanya mengungkapkan Meriam tersebut merupakan salah satu dari 3 benda cagar budaya serupa yang ditemukan di Kota Martapura.
“Benda cagar budaya berupa Meriam peninggalan zaman dahulu ini salah satunya ada di depan kantor kita, sementara dua sisanya ada di depan Mahligai Sultan Adam dan Markas Kodim 1006/Martapura,” ujarnya.
Pelestarian ketiga benda cagar budaya tersebut merupakan tanggung jawab instansinya dilakukan dengan cara menghindari kerusakan dan kehilangan serta mempertahankan bentuk aslinya.
“Meriam yang ada di depan kantor ini berkaitan dengan Kerajaan Banjar yang ditemukan saat pembangunan Pasar Batuah. Kemudian diangkat dan ditempatkan di depan kantor DPRD Banjar tanpa perawatan dan sempat terbengkalai. Karena itu kami berinisiatif dengan tim ahli cagar budaya berusaha menyelamatkan Meriam ini. Daripada rusak terpendam ditanah, kami buatkan tempat khusus di depan kantor kami,” cerita Trisnohadi.
Diketahui Meriam tersebut milik Kesultanan Banjar karena memiliki kualitas bahan logam yang berbeda dengan Meriam peninggalan Belanda yang cenderung lebih awet.
Karena Meriam tersebut merupakan benda cagar budaya, maka pelestariannya tidak bisa dilakukan dengan merestorasi atau mengubah bentuk aslinya, tetapi harus mempertahankan bentuk asli dan keutuhan Meriam tersebut.
“Bahkan kalau di cat saja bisa terancam dihapus status cagar budayanya walaupun berkarat akibat lama terpendam di dalam tanah. Sehingga Meriam tersebut kami tempatkan di tempat yang aman dan representative,” terangnya.
Tisnohadi berharap cagar budaya ini tak hanya dijaga dan dirawat oleh Pemerintah saja, tapi juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat misalnya untuk bidang Pendidikan.
“Meriam ini merupakan cagar budaya dan benda bersejarah yang menjadi pengingat bagi kita, bahwa kita memiliki sejarah panjang sebagai pembentuk identitas kita dan tanda perjuangan masyarakat. Kita ingin masyarakat dapat memanfaatkan benda ini misalnya untuk pendidikan sejarah dengan mengunjungi benda cagar budaya ini. Jadi kita tak hanya belajar sejarah mengenai tokoh dan kapan waktunya saja, tapi juga bisa menyaksikan bentuk fisiknya di lapangan, baik dengan bukti arkeologis maupun manuskrip,” harapnya.