Seringkali beranggapan keliru bahwa orang berdagang atau menjalankan usaha itu semata-mata hanya untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri.
Padahal dia sebenarnya cuma melayani orang lain, dia yang memerlukan orang lain untuk hidupnya, bukan sebaliknya.
Gara-gara merasa pedaganglah yang diperlukan oleh pelanggannya, bukan sebaliknya, beberapa kali warung makan jadi gulung tikar.
Pelanggan adalah raja, itu kenyataannya. Raja tentu saja maunya makanan yang enak, rasanya stabil dan kualitasnya terjaga.
Seringkali akibat warung dirasa banyak pembeli, lalu lengah hingga kualitas dagangan tidak lagi sama, rasa berubah dan kualitas menurun.
Padahal seringkali pelanggan tak peduli dengan harga, naik sedikit tak mengapa, asal rasa tetap sama dan terjaga.
Bila pengusaha atau pedagang tak bisa menjaga apa yang dikehendaki konsumen, tentu saja mereka bakal malas balik lagi kesitu.
Masih untung kalau tidak dicaci maki dan kekurangannya disebarkan di media sosial.
Kalau pelanggan sudah lari, apalagi sampai mencaci, tentu yang jualan yang akan rugi. Lebih-lebih kalau ada pelanggan loyal yang berpaling, itu sungguh kerugian yang besar sekali.
Itu tadi jikalau usahanya terkait produk, konsumen sangat sensitif terhadap perubahan. Apalagi jika terkait dengan pelayanan jasa.
Kualitas pelayanan merupakan hal utama yang harus diperhatikan supaya pelanggan bisa bertahan, seorang kawan pernah melakukan penelitian tentang kualitas layanan ini, ada satu istilah yang sampai sekarang terasa menggelitik yaitu customer delight.
Kebetulan kawan ini dulu bekerja di salah satu hotel berbintang, jadi tentu saja kenyamanan pelanggan selalu diutamakan.
Terlebih sekarang, penilaian pelanggan bisa dilihat dimana-mana, tingkat kepuasan yang biasanya diwakili oleh tanda bintang bisa menjadi gambaran sejauhmana tingkat kenyamanan sebuah produk atau layanan.
Customer delight sendiri singkatnya adalah kenyamanan dan kepuasan yang dirasakan oleh pelanggan yang sesuai atau malah melebihi harapan mereka, tentunya jika apa yang diharapkan didapatkan, pelanggan cenderung akan setia dengan produk atau layanan pilihan mereka. Makanya perusahaan juga akan melihat bagaimana perilaku pelanggannya, selain tentu saja memperhatikan kestabilan layanannya.
Contoh nyatanya adalah saat kuliah dulu, ada satu warung gorengan yang enak, padahal lokasinya tidak begitu dekat dengan pusat kota maupun kampus.
Gorengan yang paling enak adalah bakwan, rasanya enak dan beda dengan bakwan di warung lain.
Bertahun-tahun banyak yang nongkrong sembari makan di situ. Tapi seiring waktu, entah kenapa bakwannya jadi kurang enak lagi, jelas sekali ada perubahan rasa. Akhirnya pelan-pelan warung itupun menjadi kian sepi sampai akhirnya tutup.
Beda lagi dengan satu warung seorang kawan, yang sebenarnya cukup kecil, tapi suasananya nyaman, perilaku pelanggan sampai-sampai keluhan pelanggan diperhatikan, sampai akhirnya banyak pelanggan tetap yang selalu memberikan positif setiap kali makan di situ.
Tamu dan pelanggan yang datang kesitu benar-benar dilayani dengan baik dan suasanya yang diciptakan pun seakan-akan berada di rumah sendiri.
Intinya adalah, jika terkait dengan perilaku manusia, tentu saja yang dicari dan diperhatikan adalah titik nyaman manusia.
Jika pelanggan nyaman, otomatis nantinya empunya usahapun bakalan senang. Itu di atas adalah cerita usaha oleh pengusaha.
Bagaimana dengan layanan publik? Lebih kurangnya tentu sama, cuma mungkin sedikit lebih rumit urusannya.
Prosesnya sebenarnya mirip, hanya seringkali ada satu hal yang seringkali terlupakan, yaitu posisi siapa yang berperan sebagai pelayan dan siapa yang sebetulnya yang harus dipuaskan.
Penulis : Dr. Rd. Sya’rani.
PNS di Kabupaten Banjar