Puisi M. Amin Mustika Muda
Corat coret di Desa Barikin 6 – 8 Desember 2024.
Menuntun Raut yang Kaku
Ia sisipkan ramahnya
di tepi tingkahku yang gugup,
menuntun raut yang kaku
menjadi cawan kecil penuh cerita.
Di sela aroma kopi,
angin membawa hasratku,
membaca tanpa titik,
berkelindan dalam jeda malam
yang bersandar di senyumnya.
Barangkali, kau belajar dari perjalanan, sementara aku dibesarkan sunyi.
Detak jam yang berbisik pelan,
menggaris waktu
pada cangkir yang hampir kosong.
Oh, ini bukan sekadar kopi
tapi rahasia.
Mata yang saling bicara,
dan perjalanan yang menjahit
sebuah puisi di langit pagi.
Gong Malam di Kampung Kecil
Selalu, di kampung kecil ini,
gong itu menggetarkan dinding-dinding senyap,
memantulkan gema, menyuarai gerak tangan
yang membangunkan malam dari rebahnya.
Di balik gema itu,
tawa menjelma bara,
melebur dingin yang memagut
orang-orang serupa selimut,
berlapis rapat dalam kebisuan.
Malam, di sini,
bukan sekadar waktu yang berlalu.
Ia rumah bagi jiwa-jiwa yang bertahan,
temaram api yang dijaga,
dan harapan yang disulam
dari setiap nada gong yang setia.
Kampung Perawat
Kampung kecil ini serupa perawat,
merawat napas tradisi
yang hampir saja tumbang di tikungan waktu.
Di tiap denyutnya,
ada gurat-gurat tua
menjaga akar yang nyaris lepas.
Penduduknya
kadang menjadi wayang,
mengikuti tarikan benang dalang
yang bersuara nyaring di balik layar.
Mereka bergerak riang,
seperti lupa pada beban pagi
atau gelisah yang mengendap di malam hari.
Namun, di balik keriaan itu,
kampung ini masih meraba:
menimbang batas antara menjaga
dan kehilangan,
antara menjadi perawat,
atau pasien bagi dirinya sendiri.
Dalang yang Kutinggalkan
Senyumnya seperti hujan,
jatuh perlahan,
menyapa pohon gersang di dadaku.
Ia yang merawat kenangan
adalah ia yang kutinggalkan,
meski sempat menitipkan sebuah surat
di jantung yang kini bergetar.
“Datang lagi nanti,” katanya,
“aku akan menjadi dalang
untukmu seorang, selamanya.”
Dan matanya
matanya menyiramkan makna,
membasahi malam yang dulu kubawa pergi.
Baru kini kutahu,
ia bukan sekadar nama yang kubiarkan hilang,
tapi keramahtamahan itu sendiri.
Ia adalah rumah,
tempat hati pernah singgah,
tempat jiwa ingin kembali.
Puncak Wayang di Malam Suntuk
Malam telah mencapai kesuntukannya,
di panggung kecil yang basah oleh waktu.
Gamelan mulai menabuh genderang perang,
melantun di sela suara dalang
yang menyala, memanas,
serupa api menari di dalam gelap.
Gemerisik kulit wayang
beradu keras,
seperti kisah yang bertarung
di tangan sang pencerita.
Hujan,
yang tadi menjatuhkan kakinya di kampung ini,
kini telah bagai angin lalu,
menghilang dalam riuh tabuhan.
Penonton tak beranjak,
mata mereka terpaku,
telinga mereka tertawan.
Dan keriuhan itu terus melaju,
menanjak ke puncak malam,
seakan esok tak lagi penting,
selain apa yang dinyalakan
di panggung yang setia.
Barikin,
tahukah kau,
jika di rahimmu telah kutanam rindu?
Rindu yang tumbuh menjadi sulur-sulur bayang,
melilit cerita dalam malam yang hangus,
hingga gamelan tak lagi bertanya
siapa yang pulang,
dan siapa yang tinggal abadi di sana.
M. AMIN MUSTIKA MUDA, Gemar membaca dan menulis fiksi serta puisi. Bermukim di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Beberapa karyanya pernah terbit di media massa dan buku antologi.