TERAS7.COM – Nama Panglima Batur kerap kali ditemukan menjadi nama jalan yang di beberapa kota yang ada di pulau Kalimantan.
Berdasarkan penelusuran Teras7.com, tercatat nama Jalan Panglima Batur digunakan pada 9 kota yang berada di 3 provinsi Kalimantan, yaitu Banjarmasin, Banjarbaru, Kandangan dan Marabahan di Kalimantan Selatan; Palangka Raya, Kuala Kapuas, Muara Teweh dan Puruk Cahu di Kalimantan Tengah; serta di Samarinda, Kalimantan Timur.
Akan tetapi, siapakah Panglima Batur yang namanya diabadikan menjadi nama jalan di banyak kota di Pulau Kalimantan ini?
Dikutip dari Wikipedia Indonesia, Panglima Batur adalah adalah seorang panglima suku Dayak Bakumpai yang berperang melawan kekuasaan Hindia Belanda di pedalaman Barito dalam laga Perang Barito, yang tidak lain merupakan kelanjutan dari Perang Banjar yang pecah pada tahun 1859.
Memiliki nama asli Batur bin Barui, salah satu panglima Dayak yang telah beragama islam dan setia pada Sultan Muhammad Seman (Mat Seman), penerus Pangeran Antasari ini lahir pada tahun 1852 di Buntok Baru, yang saat ini termasuk dalam Kabupaten Barito Utara.
Gelar Panglima yang disematkan pada namanya pada masa itu menunjukkan dirinya adalah kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan sebagai anak buahnya.
Dalam tradisi suku-suku Dayak, seorang yang mendapatkan gelar Panglima adalah orang yang paling pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal.
Dalam riwayat Perang Barito, Panglima Batur berperang di sisi Pagustian, penerus Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh Sultan Mat Seman ini turut serta mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan melawan Belanda.
Suatu ketika Panglima Batur mendapat perintah dari Sultan Mat Seman untuk pergi ke Kesultanan Pasir dengan tujuan meminta bantuan persenjataan berupa mesiu yang sedianya akan digunakan melawan Belanda.
Ketika Panglima Batur berada di Kesultanan Paser, pada bulan Januari tahun 1905, Benteng Manawing diserbu oleh Pasukan Marsose (Marechausse) yang terkenal ganas dan begis di bawah pimpinan Letnan Christofel.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang melawan pasukan khusus Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) yang sudah makan asam garam dalam perang Aceh ini, Sultan Mat Seman tertembak dan gugur dalam Pertempuran Benteng Manawing.
Ketika kembali ke Benteng Manawing, Panglima Batur sedih menyaksikan benteng tersebut musnah dan pimpinannya, Sultan Mat Seman gugur.
Kemudian ia dan teman seperjuangannya, yaitu Panglima Umbung pulang ke kampung halaman mereka masing-masing, namun hal tersebut tidak memudarkan semangat Panglima Batur untuk bertahan dalam perjuangan karena terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya.
Panglima Batur memiliki sifat mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita, hal ini yang kemudian hari menjadi kelemahannya dan dimanfaatkan dengan baik oleh Belanda untuk menjebaknya.
Ketika ada upacara adat perkawinan kemenakan Panglima Batur di kampung Lemo, saat itulah serdadu Belanda menangkap seluruh anggota keluarganya yang berkumpul, termasuk pasangan mempelai yang sedang bersanding.
Keluarganya yang dimasukkan ke dalam tahanan atas perintah Residen Belanda van Wear tersebut kemudian dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan, tujuannya untuk menjebak Panglima Batur.
Belanda kemudian berupaya menangkap Panglima Batur melalui perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupunya yang menyampaikan pesan, yaitu jika Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan berunding dengan Belanda, keluarganya yang ditahan akan dikeluarkan dan dibebaskan.
Tetapi jika Panglima Batur tetap berkeras kepala, keluarganya yang tahanan tersebut akan ditembak mati, hal ini tentu saja membuatnya gundah dan sadar kemudian bertekad lebih baik ia yang menjadi korban sendirian daripada keluarganya yang tidak berdosa.
Panglima Batur diiringi oleh orang-orang sekampungnya berangkat ke Muara Teweh pada 24 Agustus 1905, namun bukannya perundingan, ia malah terkena tipu muslihat Belanda dan ditangkap sebagai tawanan, kemudian dihadapkan ke meja pengadilan.
Setelah menjalani penawanan selama 2 pekan di Muara Teweh, Panglima Batur dibawa dengan kapal menuju Banjarmasin untuk dijatuhi hukuman mati.
Di kota Seribu Sungai, Panglima Batur diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa ia adalah pemberontak yang keras kepala dan akan segera dijatuhkan hukuman mati.
Akhirnya pada 15 September 1905, nasib Panglima Batur berakhir di tiang gantungan dengan permintaan terakhir yang diucapkannya adalah minta dibacakan Dua Kalimah Syahadat.
Setelah gugur di tiang gantungan, Panglima Batur dimakamkan di belakang masjid Jami Banjarmasin, kemudian jenazahnya dipindahkan ke kompleks Makam Pahlawan Banjar yang berada tak jauh dari sana pada 21 April 1958.
Di Komplek Makam Pahlawan Banjar ini, makam Panglima Batur berada satu komplek dengan Pangeran Antasari dan istrinya serta pahlawan Ampera daerah, Hasanuddin bin Haji Madjedi, mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin yang meninggal dunia tahun 1966.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah sendiri mengusulkan Panglima Batur diangkat menjadi Pahlawan Nasional saat menggelar seminar pengusulan Panglima Batur sebagai Pahlawan Nasional di Hotel Luansa, Palangka Raya pada 27 September 2011.
Panglima Batur diusung dan diperjuangkan sebagai Pahlawan Nasional karena jasanya yang sangat besar dalam mengangkat panji-panji perjuangan melawan Belanda di daerah hulu sungai Barito.
Akan tetapi hingga saat ini, usulan menjadikan putra asli Barito Utara tersebut menjadi Pahlawan Nasional belum mendapat pengakuan dari Pemerintah Pusat.
Masyarakat setempat pun memberikan penghormatan dengan membangun Monumen berupa Patung sosok Panglima Batur di Kompleks Taman Seribu Riam yang berada di pinggir jalan raya Muara Teweh-Ampah, Barito Utara.
Sosok Panglima Batur sendiri masih dikenang mendalam oleh warga Barito Utara, salah satunya adalah Sayyid Maulana Ahmad.
Putra daerah Barito Utara yang berdomisili di Kota Banjarbaru saat ini mengatakan sosok Panglima Batur di tengah masyarakat Barito Utara selalu menjadi inspirasi dan motivasi, khususnya di masyarakat Muara Teweh.
“Sebagai seorang Panglima pada saat perang Barito, kisah beliau selalu diceritakan orang tua secara turun temurun hingga pada generasi-generasi muda. Kini Panglima Batur menjadi patokan dalam menjalankan tatanan kehidupan masyarakat Dayak Kalimantan Tengah di Barito Utara hingga terukir dalam semboyan “Iya Mulik Bengkang Turan” yang artinya Pantang Mundur Sebelum Berhasil,” ungkapnya.
Karena perannya tersebut, bagi Sayyid Maulana Ahmad sangat wajar jika Panglima Batur dikenang oleh masyarakat Kalimantan, bukan hanya masyarakat Barito Utara saja.
“Sehingga wajar kalau Panglima Batur diabadikan menjadi sebuah monumen berupa patung atau menjadi nama jalan dibeberapa kota di Kalimantan serta dikenang dalam tulisan-tulisan sejarah,” sebutnya.