Rasanya hasrat untuk kembali bersepeda, muncul lagi saat studi di Jogja, kira-kira satu dasawarsa silam.
Daerah istimewa itu benar-benar wilayah yang ideal untuk bermain kereta angin, nyaris setiap waktu.
Itu dikarenakan udaranya yang relatif bagus dan nyaman, tentu saja tidak sepanas di pulau Kalimantan.
Bersepeda sepanjang hari sampai menjelang tengah malam pun, rasanya tidak masalah.
Apalagi di perjalanan tidak bakal merasa sendirian, walaupun nyatanya nyepeda sendirian, mungkin dikarenakan pikiran yang tenang dan mata yang disuguhi bermacam warna warni pemandangan kehidupan, baik di dalam ringroad kota, maupun sampai keluar kota.
Apalagi akhir pekan, semua jenis sepeda tumpah ruah di jalan, bermacam jenis dan merk sepeda insya Allah bisa ditemukan, dan ajaibnya tidak ada yang merasa superior dibanding yang lainnya, seringkali sapa saja waktu berpapadan dan saat mendahului di jalan, walaupun nyatanya tidak kenal, tapi semua pesepeda di jalan seakan kawan.
Namanya manusia sebagai pengemudinya, tentu berbagai cara bersepeda akan ditemukan, ada yang suka capek-capek dengan daerah tanjakan, sebaliknya ada juga yang suka ambil resiko dengan kontur turunan di gunung dan perbukitan.
Banyak yang hobi putar-putar dalam kota sembari berburu titik kuliner, namun tak terhitung juga yang suka bersepeda jauh-jauh dan berhari-hari tanpa keder.
Di antara semua macam gaya bersepeda, ada semacam aliran pesepeda yang saya ikuti, yang punya falsafah: ngepit sak tekane.
Artinya sepedaan sesampainya, atau mungkin sama dengan istilah balarut dalam bahasa Banjar.
Saya bersama beberapa orang kawan, selalu menggunakan cara itu saat sepedaan. Sesantainya, sesampainya tanpa perlu ada beban target macam-macam.
Jadi bila terasa lelah di tengah jalan, tinggal mampir dan istirahat, di manapun letih sudah terasa.
Saat lapar dan haus menggoda, tinggal mampir makan dan minum secukupnya. Begitu pula kala terik matahari dirasa menyengat kulit kepala, cari naungan untuk berteduh.
Tapi tentu saja, tujuan perjalanan sudah direncanakan sebelumnya, jarak dan waktu tempuh diperkirakan sebisanya dan yang terpenting peralatan standar jika ada kerusakan ringan sewaktu di jalan dan ban dalam tak lupa diselipkan.
Juga sangu secukupnya dan lampu untuk jaga-jaga kalau kemalaman di jalan. Sebab seringkali, berangkat pagi, sampai tujuan lewat tengah malam.
Walaupun perjalanan cukup panjang, anehnya lelah pun jadi tetap terasa menyenangkan. Terkadang saya pikir, gaya bersepedaan seperti itu layaknya menjalani hidup.
Tujuan sudah ditetapkan, segala yang diperlukan dipersiapkan, sedangkan urusan bagaimana nanti kalau ada masalah di perjalanan diusahakan untuk diselesaikan.
Sisanya tinggal serahkan pada Tuhan.
Tak salah jika sepedaan seperti itu, tak ubah seperti latihan untuk menerjemahkan hakikat dari kata tawakal.
Ada yang mau ikutan mencoba, mungkin?
Dr Rd Sya’rani
Penulis adalah PNS di Kabupaten Banjar