TERAS7.COM – Siapa yang tak ingin menjadi seseorang yang saleh dan salehah, semua umat Muslim di dunia ini menginginkan hal tersebut. Dari kecil saja, orang tua selalu mendoakan anaknya agar menjadi anak yang saleh dan salehan.
Bahkan ketika besar pun, manusia baik itu laki-laki maupun perempuan, selalu berdoa agar mendapat kriteria pasangan hidup yang saleh ataupun salehah.
Di masyarakat luas, umumnya pemahaman tentang saleh yakni seseorang yang memiliki adab, tata krama yang baik dan memiliki ilmu pengetahuan agama islam yang mumpuni.
Tak heran, jika seseorang memiliki dua kriteria di atas maka akan dipandang saleh ataupun salehah di mata masyarakat luas. Meski sebagian masyarakat ada yang memiliki definisi tersendiri sesuai ruang pikirnya masing-masing terhadap hal tersebut.
Lantas bagaimana cara kerja saleh tersebut?, dilansir dari laman NU Online Lampung, banyak kisah di masyarakat tentang bagaimana menimbang baik dan buruknya seseorang. Biasanya terjadi dua kontradiksi yang saling diklaimkan oleh beberapa orang.
Di lain kisah ada juga, si B yang juga beragama Islam meski dalam kesehariannya tidak pernah melaksanakan shalat 5 waktu, kadang bolong-bolong, tidak rajin berpuasa, tetapi gemar shadaqah, selalu membantu tetangga, tidak pelit, dan tidak mencaci maki. Kadang juga waktunya habis untuk mencari rezeki yang halal namun sampai lupa waktu shalat.
Yang mana yang paling benar, dan yang mana yang harus diikuti? Dari dua peristiwa di atas, masyarakat terbagi menjadi 2 kubu dalam menilai kelayakan dari kesalehan masing-masing.
Kubu si A akan membela si A, karena ibadahnya, sedang kubu B akan membela si B, karena sosialnya.
Kita tidak perlu bingung dalam mengambil sikap dari ke-2 peristiwa di atas, juga tidak perlu jauh-jauh untuk mencari contoh. Cukup contoh saja Rasul kita Nabi Muhammad SAW yang dalam kesehariannya saleh secara ritual (ibadah mahdlah) dan saleh secara sosial (ibadah ghairu mahdlah).
Saleh secara ritual, Nabi tidak pernah meninggalkan salat 5 waktu semenjak diperintahkan oleh Allah ketika Mi’raj. Selalu berpuasa ramadhan, bahkan beristigfar 100 kali setiap hari, meski tidak memiliki dosa.
Secara sosial, Nabi orang yang dermawan, ramah, kasih sayang. Jika kita mengambil contoh kesosialan Nabi, maka sangat banyak sekali, seperti Nabi yang selalu memberi makanan kepada seorang wanita tua buta dari golongan Yahudi sampai akhir hayat, meski wanita tersebut selalu mencemooh Nabi, karena ketidaktahuannya. Hingga ketika Nabi wafat wanita tua tersebut baru mau masuk Islam.
Nabi juga gemar mendoakan kebaikan kepada manusia baik yang beriman maupun yang ingkar. Seperti mendoakan penduduk Thaif yang ingkar kepada Nabi, ketika Nabi datang ke kota, dilempari batu, sampai Nabi berdarah, sehingga Malaikat marah kepada penduduk Thaif dan memohon kepada Nabi untuk memusnahkannya.
Tapi Nabi tidak demikian. Nabi hanya mendoakan kelak keturunannya ada yang beriman kepadanya. Dan benar, Allah mengabulkan kebaikan doa Nabi, sehingga anak keturunan penduduk Thaif masuk Islam.
Dari kisah Nabi Muhammad SAW di atas, maka kita diharuskan memiliki 2 komponen tersebut agar menjadi orang yang saleh atau salehah.
Ibadah yang diajarkan Nabi selalu memiliki dimensi sosial. Seperti shalat berjamaah di masjid mengajarkan kerukunan sesama Muslim, kesetaraan status dan pusat Interaksi manusia. Kemudian zakat yang juga memiliki dimensi sosial yang tinggi yakni bershadaqah kepada orang yang tidak mampu dan fakir miskin.
Sedikit demi sedikit, kita harus bisa mencontoh Rasulullah, karena Rasul sebaik-baik teladan bagi umatnya (uswatun hasanah). Ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah selain diwajibkan dan dianjurkan bagi umat Islam, juga sebagai bukti kita cinta kepada Allah dan kepada cintaannya.
Penulis: Yudi Prayoga/ Kontributor NU Online Lampung