Cerpen: M. Amin Mustika Muda
MEMANG ada yang berbeda pada sosok ibu cantik, yang bernama Jendela Rahayu. Dan harus diakui, Ibu Jen, begitu panggilan akrab perempuan itu, adalah seorang manusia langka yang memiliki dedikasi bagi perkembangan pendidikan di kampung ini. Dan semua orang di kampung ini tahu akan hal itu. Bukan omong kosong, sejak kehadirannya di kampung ini tiga tahun yang lalu, minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya menjadi lebih tinggi.
Barangkali, itulah yang menyebabkan Ibu Jen mendapat cap sebagai manusia langka, sebab tak semua orang mampu melakukannya.
Tak hanya itu, anak-anak yang sebelumnya putus sekolah, kembali memiliki niat untuk meneruskan sekolahnya. Entah strategi apa yang dilakukannya hingga berhasil membujuk anak-anak itu kembali bersekolah, tentu hanya Ibu Jen yang tahu.
Bahkan, ia juga rela mengorbankan waktunya, bolak-balik mengunjungi beberapa perusahaan kelapa sawit yang sedang tumbuh menjamur di sekitar kampung ini; guna mempertanyakan perihal dana CSR untuk beasiswa kuliah di perguruan tinggi bagi lulusan berprestasi.
Ibu Jen juga pernah meminta Pak Camat, untuk membuka jalur pendidikan informal, seperti Kejar Paket A, B dan C.
“Jalur pendikan informal sangat membantu bagi anak-anak putus sekolah yang ingin menyelesaikan pendidikannya,” kata Ibu Jen.
Yang unik, Ibu Jen bukanlah seorang guru, meski tidak bisa dipungkiri jika ia adalah pemilik gelar Sarjana Pendidikan. Dan Ibu Jen, bukan pula warga yang menetap di kampung ini. Ia tinggal di kecamatan tetangga. Di sini, ia hanya seorang pekerja yang datang bekerja, dan menginap beberapa waktu dalam setiap bulannya – lima hingga belasan hari di kantor desa, atau berpindah-pindah di beberapa rumah warga, untuk melaksanakan tugas-tugasnya mendampingi masyarakat yang oleh pemerintah dikategorikan sebagai keluarga miskin.
DALAM menjalani pekerjaan mendampingi masyarakat yang oleh pemerintah dikategorikan sebagai keluarga miskin, Ibu Jen selalu menyampaikan pesan, “Bahwa kita saat ini boleh miskin, tetapi tidak bagi generasi kita. Anak-anak kita nanti, mestinya sudah harus bisa melepaskan diri dari belenggu kemiskinan.”
Karena itu, Ibu Jen selalu mengingatkan para orangtua, dapat selalu memberikan motivasi kepada anak-anaknya, agar selalu memiliki komitmen untuk berangkat ke sekolah. Selain itu, bagi ibu hamil dan anak-anak usia dini – balita dan anak pra sekolah, juga diwajibkan untuk mendapatkan layanan kesehatan gratis pada fasilitas kesehatan, seperti puskesmas dan posyandu.
Hal semacam ini, sudah berulang-ulang kali disampaikannya. Kata Ibu Jen, karena pemerintah meyakini, bahwa faktor pendidikan dan kesehatan masih menjadi salah satu solusi bagi masyarakat yang didampinginya ini, agar nantinya dapat keluar dari belenggu kemiskinan.
Paling tidak, kini, sedikit demi sedikit secara bertahap, telah terjadi perubahan sikap dan pola pikir pada mereka. Dari sebelumnya, begitu cuek bebek pada persoalan pendidikan anak-anaknya, kini mereka menjadi perhatian dan sedikit lebih peduli. Alhasil, sebagian dari bantuan non tunai bersyarat bagi masyarakat yang dikategorikan pemerintah sebagai keluarga miskin ini, mereka alokasikan untuk membeli kebutuhan sekolah, seperti kelengkapan seragam, tas sekolah dan buku-buku. Itu semua, tentu saja dalam rangka memotivasi agar anak-anak rajin belajar dan tidak pernah alfa pergi ke sekolah.
Begitu juga dengan faktor kesehatan. Kini ibu-ibu hamil lebih sering memeriksakan kehamilannya di puskesmas atau posyandu. Sehingga suara tawa anak-anak usia dini, yang sedang berlarian di halaman, telah menjadikan layanan kesehatan di kampung ini terlihat lebih meriah. Ditambah lagi suara tangis dan jeritan keras generasi penerus bangsa yang masih dalam gendongan ibunya, sepertinya telah menjadikan layanan kesehatan ini, siap bertarung untuk menebas akar kemiskinan di kampung ini.
IBU JEN tidak pernah berpikiran akan bekerja di kampung ini. Apalagi, ia pun sebelumnya tidak pernah menginjakkan kakinya di kampung ini. Sebuah kampung yang terletak di bagian paling ujung, dari ibukota kabupaten, tempat di mana ia bermukim.
Dan setiap Ibu Jen berangkat ke kampung ini, lebih memungkinkan melewatinya dengan jalur sungai, menggunakan perahu motor, dengan waktu tempuh sekitar 3 jam ke ibukota kecamatan. Ada memang jalur darat, melewati jalan-jalan sunyi yang dibangun oleh perusahan kelapa sawit, dan tentu saja tak berani dilakukan seorang diri oleh Ibu Jen yang notabene adalah perempuan.
Awal-awal menjalani pekerjaannya, Ibu Jen sangat ditentang oleh mamanya. Bagaimana tidak menentang, jika anaknya harus bekerja di wilayah yang didominasi oleh jalur transfortasi air, lebih-lebih anaknya itu tidak bisa berenang. Apalagi mamanya Ibu Jen sering mendengar berita di kampung itu, soal perahu yang terbalik ketika mengangkut rombongan pelajar pergi sekolah, dianggap hal biasa. Memang belum pernah terjadi korban jiwa, karena mereka semua pandai berenang. Yang juga dirasa sangat mengganggu, di kampung ini, sinyal internet masih sangat lemah, barangkali karena belum merata penyebarannya. Sehingga akses komunikasi dan informasi terbilang cukup sulit. Jadi sangat mungkin, jika ingin menjangkau sinyal internet yang bagus dan kuat, seseorang harus berjalan hingga lima kilometer.
Meski begitu, beruntung bagi Ibu Jen, papanya sangat mendukung pekerjaan itu, sehingga ia tetap optimis dapat melanjutkan pekerjaannya. Sebab, menurut Ibu Jen, pengalaman adalah pelajaran yang paling berharga.
IBU JEN sedang menunggu sebuah perahu motor yang akan membawanya ke desa seberang. Sudah hampir 15 menit ia menunggu di pelabuhan yang tampaknya kurang terawat itu. Baru saja ia dimainkan oleh perasaannya yang mulai berasa suntuk, sebab menunggu memanglah perkerjaan yang paling membosankan, sekonyong-konyong sebuah suara menyapanya, “Hai Jen, sedang apa sendiri di sini?”
Ibu Jen memalingkan kepalanya ke arah belakang, mencari sumber suara, yang memang sudah sangat dikenalnya dan tidak asing lagi di telinganya. Tidak ada siapa-siapa, pikirnya. Belum lagi tuntas ia mendapat jawaban atas rasa penasarannya itu, sekonyong-konyong, sesosok tubuh tinggi besar berjenis kelamin laki-laki mengenakan seragam putih abu-abu telah muncul di hadapannya.
“Aku di sini, Beib. Tepat berada di depanmu,” kata laki-laki itu sembari mengambil tangan kanan Ibu Jen, dan menjabatnya berkali-kali.
Ibu Jen tidak terlalu suka dengan proses yang bersifat tiba-tiba dan berlalu begitu cepat, sebab ia mudah terkejut dan sesekali bisa tampak latah. Ia pun hanya mengucapkan kalimat istigfar berulang-ulang. “Astagfirullah. Astagfirullah. Astagfirullah. Kamu ini, bikin kaget saja.”
Laki-laki itu hanya tersenyum, sembari memandangi wajah Ibu Jen, yang menurutnya mirip boneka berjilbab. Dan tentu saja, tangan kanan Ibu Jen yang mengenakan sarung berwarna hitam itu masih juga dijabatnya.
“Kamu mau ke desa seberang, kan? Sama dong. Bareng, ya,” kata laki-laki itu, dan jabat tangannya kepada Ibu Jen, sudah mulai ia lepaskan.
Sambil menunggu perahu motor, mereka lalu duduk di bangku panjang, yang menjadi satu-satunya bangku yang memang disiapkan oleh pemerintah kecamatan untuk para penumpang yang sedang menunggu keberangkatan perahu motor.
LAKI-LAKI berseragam putih abu-abu itu bernama Patih. Meski usianya terbilang jauh di bawah Ibu Jen, tapi ia tidak berkecil hati untuk tetap mengutarakan perasaan sukanya kepada Ibu Jen.
“Entah kenapa, setiap melihatmu aku begitu nyaman dan bersemangat. Rasa-rasanya aku mencintaimu, Jen. Maukah kamu menjadi kekasihku, Jen?”
Bahkan Patih pun tak sungkan-sungkan memanggil perempuan yang delapan tahun lebih tua darinya itu, hanya dengan menyebut namanya saja “Jen”, atau sesekali dengan menyebut “Beib”.
Tetapi tentu saja perasaan suka laki-laki itu tak pernah diterima Ibu Jen.“Ah, gayamu itu. Masih berseragam putih abu-abu juga. Sekolah dulu yang pintar. Belajar yang rajin. Biar nanti jadi orang. Biar bisa membangun kampungmu ini lho,” kata Ibu Jen.
Meski begitu, Ibu Jen tak pernah marah, atau merasa tidak enak hati, apalagi menanggapi berlebihan, meski Patih tidak pernah memanggilnya dengan sebutan “Ibu Jen” seperti kebanyakan orang-orang di kampung ini. Sebaliknya, begitu juga dengan Patih. Meski berkali-kali ditolak oleh Ibu Jen, ia tetap tak pernah benci dan selalu siap sedia membantu sosok perempuan yang dianggapnya sudah banyak berjasa, karena telah bekerja mendampingi masyarakat di kampungnya, yang oleh pemerintah dikategorikan sebagai keluarga miskin.
APA yang selama ini dikhawatirkan mamanya Ibu Jen, akhirnya benar-benar terjadi. Pada suatu malam yang indah, di mana langit sedang diterangi oleh jutaan bintang-bintang yang saling berkejaran, serupa para peri yang sedang menari-nari menyambut datangnya malam-malam yang bahagia, sekonyong-konyong, perahu motor yang ditumpangi Ibu Jen, yang sedianya akan membawanya pada perjalanan pulang ke rumah, menuju ibukota kabupaten, bergoyang-goyang mencari keseimbangan, kemudian oleng ke kiri dan ke kanan, dan kemudian lagi terbalik dihantam riak yang entah dari mana datangnya.
Bagi Ibu Jen, suasana pemandangan malam terindah yang baru pertama kali dijumpainya di sepanjang hidupnya itu, sekonyong-konyong, berubah menjadi malam yang paling mengerikan.
Memang tidak ada korban jiwa pada peristiwa naas di malam itu, semua penumpang dinyatakan selamat. Pengemudi perahu motor yang memang sudah menjadi langganan Ibu Jen, telah berhasil menyelamatkan satu-satunya penumpang yang tidak bisa berenang itu. Kendati begitu, Ibu Jen harus mengakhiri aktivitas sehari-harinya sebagai pendamping di kampung itu, sebab dokter telah mendiagnosanya mengalami amnesia atau hilang ingatan.
Meski begitu, tidak semua ingatan Ibu Jen hilang, ia masih mengingat ketika terakhir ia bekerja sebagai karyawan bagian administrasi pada sebuah perusahaan jasa konstruksi di ibukota provinsi. Tentu juga ia masih mengingat pengalamannya sewaktu masih menjadi mahasiswa dan siswa SMA, dan ia juga masih mengingat kenang-kenangan lain sebelumnya.
Namun, ia benar-benar tidak bisa mengingat semua yang pernah dilakukannya pada tiga tahun belakangan. Barangkali, ia tidak pernah ingat lagi, jika sebelumnya, ia pernah melaksanakan kerja-kerja pendampingan masyarakat, yang oleh pemerintah dikategorikan sebagai keluarga miskin.
MESKI mengalami amnesia, kini Ibu Jen memiliki profesi baru. Nasib telah mengantarkannya menjadi seorang guru.
Seperti pada hari itu, dari kaca jendela kelas 6 yang tirainya masih terbuka, Ibu Jen memandangi air hujan yang jatuh menimpa daun-daun pohon pisang yang tumbuh di sudut halaman sekolah.
Kelas telah hening, sebab satu jam yang lalu, lonceng yang bertugas memberi tanda berakhirnya mata pelajaran, sudah berbunyi. Sehingga para murid telah pulang ke rumah masing-masing, jauh sebelum awan di sini menjadi hitam, dan kemudian turun hujan.
Ibu Jen memang belum beranjak dari ruang kelas, karena harus menyelesaikan laporan administrasi dan evaluasi mengenai pelajaran hari ini, sekaligus mempersiapkan materi pelajaran untuk besok. Tidak seperti biasanya, ia mengerjakan laporan di kantor guru. Entah kenapa, hari ini ia ingin menyelesaikannya di kelas ini.
Tetapi bagaimana ia dapat segera menyelesaikan laporan itu. Tiba-tiba saja ingatan di kepalanya saling berlompatan dan berkejaran. Ia ingat seorang laki-laki berseragam putih abu-abu yang selalu menyatakan cinta kepadanya. Ia juga ingat pengemudi perahu motor yang selalu mengantarnya menjelajah desa-desa pesisir sungai. Ia pun ingat Pak Camat yang selalu meminta pendapat agar anak-anak di kampung itu rajin ke sekolah. Ia ingat tentang bintang-bintang yang bertaburan di malam terindah itu, sebelum pada akhirnya terdengar begitu histeris jeritan-jeritan orang meminta tolong. Akhirnya, ia dapat mengingat semuanya. Termasuk mengingat sosok laki-laki yang sering kali membuatnya menjatuhkan airmata. Sosok laki-laki yang telah dibuatnya patah hati, dan sekaligus mematahkan hatinya.
Tanpa disadari, Ibu Jen telah menitikkan air di sudut mata yang teduh itu. Dan ia hanya tersenyum-senyum kecil, ketika seorang guru menyapa, “Maaf Ibu Jen. Saat ini Ibu sedang ditunggu Kepala Sekolah. Katanya ada hal penting yang harus dibicarakan.” *
2019
Biodata:
M. Amin Mustika Muda, hoby membaca fiksi dan puisi. Tinggal di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala.