Oleh: Muhammad Noor Fadillah, S.M.
(Sekretaris Komunitas Perahu Kata)
Ada yang menarik dari perhelatan Tadris Puisi 2023 yang diadakan Komunitas Perahu Kata beberapa waktu lalu di Marabahan (17/04/2023). Yaitu penampilan para pembaca puisi yang hampir seluruhnya membacakan puisi bertema perjuangan.
Ada yang membacakan puisi karya Taufiq Ismail, Teguh Esha, Mariam Ashraf hingga Fadli Zon. Bahkan Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Barito Kuala yang memberikan sambutan sekaligus membaca puisi juga membacakan puisi perjuangan dari Chairil Anwar berjudul Diponegoro.
Saya sendiri awalnya mengira jika peserta akan lebih banyak membacakan puisi bertema religi. Karena memang dilaksanakan di Bulan Ramadhan. Kata “Tadris” yang menjadi nama acara juga diambil dari Bahasa Arab sehingga lebih berkesan sebagai acara bernuansa islami. Namun malah tak ada satupun yang membacakan puisi bertema religi.
Acara Tadris Puisi 2023 yang dilaksanakan bekerjasama dengan Ikatan Guru Indonesia Kabupaten Barito Kuala dan Duta Baca Batola ini mengusung tema “Hujan Kata di Bulan Cahaya”. Sebuah tema yang sebenarnya tidak secara spesifik mengusung tentang perjuangan. Meskipun tema tersebut dapat ditafsirkan beragam oleh siapapun.
Kalau mau dihubung-hubungkan, tema Hujan Kata di Bulan Cahaya memang dapat diartikan dalam konteks perjuangan. Misalnya dulu Presiden Soekarno membacakan teks proklamasi bangsa Indonesia bertepatan pada Bulan Cahaya (Bulan Ramadhan).
Teks proklamasi kala itu ibarat Hujan Kata yang membasahi seluruh rakyat Indonesia dan disambut dengan sorak sorai kegembiraan. Sekaligus menjadi hujan yang sangat dinanti-nantikan setelah lama berjuang di tengah kemarau panjang (penjajahan).
Pertanyaan selanjutnya, apakah semua peserta yang tampil memang telah lebih dulu membedah tema acara yang diusung sedemikian rupa? Ataukah semua ini hanya kebetulan yang benar-benar kebetulan?
Ada kemungkinan lain tentang hal ini. Yaitu puisi perjuangan banyak dipilih peserta karena lebih “nyaman” dibawakan. Puisi bertema perjuangan terutama dari penyair besar telah banyak dibacakan oleh pembaca puisi lainnya. Video mereka dapat dengan mudah diakses di internet. Dengan begitu pembaca puisi tak perlu bingung bagaimana cara membacakannya karena mereka dapat belajar terlebih dahulu dari internet.
Selain itu puisi perjuangan dapat dibawakan dengan “berapi-api” sehingga terlihat lebih wah di hadapan penonton. Bisa saja begitu, kan?
Masa Depan Pegiat Sastra di Batola
Terlepas dari apa alasan peserta yang lebih banyak membacakan puisi tema perjuangan, ada hal lain yang lebih penting untuk kita bicarakan. Dari acara ini kita dapat melihat “bibit-bibit unggul” pembaca puisi di Barito Kuala.
Sebagian besar pembaca puisi tampil memukau. Mulai dari intonasi, ekspresi wajah, bahasa tubuh, hingga penghayatan, mereka hadirkan ketika membaca puisi. Meski harus membacakan puisi dalam keadaan berpuasa, tetapi hal itu tidak menjadi penghalang.
Beberapa peserta yang tampil pada acara Tadris Puisi memang ada yang pernah menjuarai lomba baca puisi dan sering tampil di berbagai kesempatan. Hal itu menunjukkan bahwa Kabupaten Barito Kuala punya “bibit” yang baik untuk terus dikembangkan.
Saya yakin bahwa Kabupaten Barito Kuala tidak pernah kekurangan orang-orang yang mampu bertumbuh di kesusastraan. Hanya saja karena hampir tak ada acara sastra di daerah ini akhirnya membuat orang-orang yang sebenarnya punya ketertarikan pada sastra menjadi tak tahu harus kemana. Lebih parah lagi jika pada akhirnya mereka pun hilang begitu saja.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Aspihan N. Hidin selaku narasumber bincang sastra pada acara Tadris Puisi dengan judul Geliat Sastra di Barito Kuala. Bahwa geliat sastra di Barito Kuala terlihat lebih lambat dibandingkan daerah lain. Salah satu penyebabnya karena masih kurangnya acara-acara sastra.
Pada dasarnya acara sastra yang digelar bertujuan untuk mewadahi mereka yang menyukai sastra. Sehingga semangat untuk terus bersastra tetap terjaga bahkan kalau bisa menyala-nyala. Melalui acara sastra kita juga dapat mencari “bibit” untuk selanjutnya diberi pembinaan. Harapannya regenerasi sastrawan dapat terus berlangsung dengan kualitas yang dapat diperhitungkan.
Betapa pentingnya acara sastra pernah saya rasakan sendiri. Awal mula saya menggeluti sastra ketika dulu menjuarai sebuah perlombaan menulis cerpen yang diadakan di Banjarbaru. Saya beruntung karena waktu itu ada banyak lomba sastra yang digelar.
Kemenangan yang saya raih di beberapa lomba tersebut membuat saya semakin semangat menulis karya sastra hingga keterusan sampai sekarang. Seandainya saat itu tak ada acara sastra, mungkin saya akan menjadi orang yang berbeda dengan hari ini.
Yaa walaupun sampai sekarang saya masih belum pernah sih mengikuti lomba sastra di daerah saya sendiri.
Acara Sastra Selanjutnya (?)
Di sela-sela acara Tadris Puisi, ada diskusi singkat antara Komunitas Perahu Kata dan Dewan Kesenian Kabupaten Barito Kuala. Melihat peserta yang antusias membacakan puisi dan kualitasnya yang sudah cukup bagus, ada rencana untuk mengadakan lomba membaca puisi bertema perjuangan pada Agustus mendatang.
Selain untuk memeriahkan bulan perjuangan, melalui lomba tersebut diharapkan semakin banyak pecinta sastra yang bermunculan. Sekaligus sebagai upaya untuk memperkenalkan sastra lebih dekat kepada masyarakat.
Ada satu hal yang sebaiknya jangan terlewatkan dari setiap penyelenggaraan acara sastra. Yaitu kalau nanti orang-orang yang menyukai sastra sudah bermunculan melalui acara tersebut, jangan lupa memberikan pembinaan yang lebih serius. Jangan sampai mereka hanya bermekaran sesaat kemudian layu karena tidak ada upaya lebih lanjut yang diberikan. Di sinilah peran semua pihak yang berkepentingan sangat diperlukan.
Komunitas Perahu Kata sebagai komunitas literasi di Barito Kuala siap menjadi wadah pengembangan untuk mereka yang tertarik pada sastra. Komunitas Perahu Kata juga siap berkolaborasi, baik itu dengan organisasi maupun instansi pemerintahan. Meningkatkan minat baca termasuk bersastra memang sudah seharusnya dikerjakan bersama-sama oleh semua pihak.
Semoga saja ke depannya akan terus ada acara-acara sastra, entah dalam bentuk lomba baca puisi seperti yang direncakan, lomba menulis karya sastra, seminar, atau apapun itu. Dengan demikian saya berharap agar sastra kini mendapat perhatian untuk dikembangkan, bukan lagi dianaktirikan.