Oleh : Muhammad Noor Fadillah
Ayah selalu melarang kami menonton televisi setiap malam Jumat. Itu sudah terjadi sejak beberapa bulan yang lalu. Penyebabnya sepele. Ayah merasa kesal dengan banyaknya acara di televisi yang menyiarkan tayangan berbau horor. Padahal ayah seringkali menyebut malam Jumat adalah malam yang spesial dan ditunggu-tunggu.
Tak dapat dipungkiri jika memang banyak stasiun televisi memberi tayangan horror setiap malam Jumat. Banyak film hantu, variety dan reality show yang diisi pakar pemanggil setan ataupun acara sulap dengan bantuan roh-roh halus. Tayangan berita juga ikut-ikutan. Kebanyakan yang muncul adalah berita pembunuhan karena santet, kecelakaan di jalur maut, dimakan ular, dan segala macam kematian yang tidak wajar.
Akibatnya malam ini tak ada suara pembawa berita, sinetron yang membuat penonton gregetan, atau sekadar iklan sampo. Kami akhirnya menghabiskan waktu dengan berbagai cara. Aku dan kakakku karena masih sekolah, maka membaca buku atau mengerjakan PR yang kami lakukan. Ibu lebih banyak memelototi handphone, mengecek berita di grup whatsapp. Adapun ayah lebih banyak berzikir sambil memetik tasbihnya.
Kami tidur lebih awal dari malam-malam biasanya. Karena suasana rumah terasa sepi, ayah menyuruh kami untuk tidur saja. Ibu tidak pernah keberatan. Malah terkadang jika ibu sedang malas mengecek handphone-nya, ibu yang lebih dulu masuk kamar. Begitupun kakak yang menurut saja. Hanya aku yang seringkali kesal dengan perintah ayah. Aku terbiasa tidur larut malam dan baru bisa mengantuk setelah menonton televisi.
“Ini maljum. Cepat tidur. Tidak ada televisi untuk malam ini. Lebih baik kalian istirahat saja,” begitu biasanya ayah memerintah.
Maljum adalah kata yang lazim digunakan ayah. Padahal maksudnya adalah malam Jumat. Tidak usah ditanya mengapa ayah menyingkatnya seperti itu. Barangkali hanya ingin terlihat keren dengan bahasa-bahasa singkatan yang tidak jelas bagaimana tata cara membuatnya.
Aku sendiri sebenarnya tidak bisa langsung tidur. Paling-paling hanya berbaring dan menatap langit kamar. Terkadang aku hanya bisa memendam rasa kesal jika kebetulan harus melewatkan tayangan favoritku di televisi; sepak bola.
Sering aku menggerutu. Menurutku ayah sudah keterlaluan. Memangnya apa yang salah dengan tayangan horor. Kalaupun merasa takut, bukankah masih bisa melihat tayangan lain seperti tayangan bola jika sedang musimnya. Atau mungkin beralih ke channel lokal yang meskipun lebih banyak menyajikan iklan. Tapi untuk apa juga takut? Bukankah semua itu hanya rekayasa? Hanya untuk hiburan saja. Buktinya film-film horor masih laku keras. Mana mungkin orang-orang mau membayar mahal hanya untuk membuat mereka takut.
Kalau diingat lagi, awal mula ayah memberlakukan aturan malam Jumat masih segar dalam kepalaku. Waktu itu kami yang sedang menonton acara televisi tiba-tiba dikejutkan oleh televisi yang mendadak dimatikan. Padahal saat itu sedang tegang-tegangnya ketika tiga orang perempuan lari terbirit-birit dikejar pembunuh bayaran yang mengenakan topeng. Aku, kakakku juga ibu langsung mencari tahu siapa yang mematikannya. Dan ternyata ulah ayah. Kami pun protes.
“Sudah cukup. Dari sekarang kita semua tidak boleh lagi menonton televisi di malam Jumat. Ini peraturan baru,” kata ayah sambil mencabuti kabel-kabel televisi.
“Apa Yah? Kenapa begitu?” jawabku cepat.
“Apa kalian tidak tahu, kalau setiap malam Jumat banyak tayangan televisi menayangkan acara tak berkualitas. Pasti seputar hantu, setan, iblis, dan sebagainya. Mereka hanya ingin menakut-nakuti kita.”
“Tapikan…”
Aku ingin menyela perkataan ayah namun tak sempat.
“Lihatlah Kakak. Jika sudah selesai nonton televisi, pasti tidak berani ke toilet sendirian. Itulah yang mereka inginkan.”
“Itukan hanya Kakak. Orang lain belum tentu Yah. Aku sendiri tidak takut kok,” aku berusaha memberikan perlawanan. Sedang kakakku langsung tertunduk karena apa yang dikatakan ayah memang benar.
“Kamu itu laki-laki. Memang harus berani. Target mereka adalah remaja perempuan.”
“Memangnya mereka itu siapa?” tiba-tiba kakak angkat bicara. Mungkin karena merasa terpojokkan.
Ayah tidak menjawab.
“Tapi tidak semua tayangan adalah acara horor. Masih banyak kok Yah acara lain,” jawabku masih memberi perlawanan.
“Tapi kenyataan kalian lebih memilih menonton tayangan horor, bukan? Buktinya tadi kalian menontonnya.”
“Kalau begitu….”
“Sudahlah,” ibu memotong kalimatku.
“Tidak ada gunanya membahas ini. Kita turuti saja apa kata Ayah. Mungkin ini semua demi kebaikan bersama.”
Kukira ibu sebenarnya juga tidak setuju dengan aturan ayah. Namun sepertinya ibu tak mau memperkeruh suasana.
Aku dan kakak tak lagi bicara. Mau tak mau kami harus mengikuti peraturan baru dari ayah. Benar kata ibu, memang tak ada gunanya terus melawan. Kalau Ayah sudah membuat keputusan akan sulit untuk diubah.
Setelah aku pikir-pikir lagi sebenarnya aku bisa memahami kenapa ayah membuat aturan tersebut. Selama ini malam Jumat memang dipercaya banyak orang sebagai malam yang keramat dan banyak hantu. Sedangkan ayah adalah orang yang keras menentang hal itu. Mungkin karena itulah ayah tidak mau jika kami ikut-ikutan takut ditambah tontonan horor yang banyak ditampilkan di televisi.
Selain tayangan di televisi, ayah juga tidak setuju dengan kepercayaan masyarakat di sini yang menganggap malam Jumat sebagai waktu yang naas. Di malam itu, apalagi malam Jumat kliwon masyarakat banyak menunda perjalanan jauh atau aktivitas tak terlalu penting. Ketika magrib, anak-anak dan perempuan harus sudah berada di rumah. Tidak boleh keluar. Pintu rumah ditutup rapat. Malam Jumat seolah menjadi malam yang menakutkan.
Ayah tidak percaya dengan semua itu. Bagi ayah semua hari sama saja. Kami pun tidak pernah dilarang keluar rumah asalkan sudah salat. Sampai sekarang memang kami tidak pernah mendapati kejadian yang banyak ditakutkan orang.
“Mana mungkin Tuhan menciptakan satu malam yang bisa mencelakakan hambanya,” kata ayah melampiaskan kekesalannya kepada kami.
Aku juga tidak percaya dengan hari yang dianggap menimbulkan kesialan. Kalaupun terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan di malam tersebut, aku kira itu hanya kebetulan saja.
Namun mengenai larangan menonton televisi, aku tentu tidak setuju. Seperti sekarang. Lagi-lagi malam ini aku tak bisa tidur. Kali ini bahkan lebih parah. Entah apa penyebabnya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Sulit sekali rasanya memejamkan mata. Sudah aku paksa agar tertidur, namun tetap tak bisa. Sama sekali tak ada rasa kantuk. Aku merasa tersiksa.
***
Hari sudah hampir malam tapi ayah belum kembali ke rumah. Padahal biasanya sebelum waktu ashar ayah sudah kembali. Kesempatan ini aku dan kakakku gunakan untuk menonton televisi. Ibu melarang karena khawatir ketahuan ayah. Namun kami membujuk ibu dan memintanya berjaga agar ketika ayah pulang kami bisa segera mematikan televisi. Syukurnya ibu mau menuruti permintaan kami.
Setelah sekian lama, malam Jumat ini akhirnya kami bisa menonton televisi kembali. Tayangan yang ada memang belum berubah, masih banyak tayangan berbau horor bahkan pada acara komedi sekalipun.
Meski begitu kami tetap senang. Kebetulan malam Jumat ini ada tayangan favorit kami. Ibu terlihat ikut menonton meski sesekali harus mengintip dari jendela untuk berjaga-jaga jika ayah pulang.
Kami semua menikmati malam ini. Waktu pun terasa berjalan cepat.
“Astagfirullah. Ini sudah tengah malam. Kenapa Ayah belum pulang? Perasaan Ibu malah tiba-tiba jadi tidak enak. Apalagi ini malam Jumat.”
—
Muhammad Noor Fadillah. Lahir di Martapura, 24 Juni 1998. Tinggal di Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Sekarang sedang menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Penyuka sastra. Aktif di Komunitas Pembatas Buku Jakarta dan Komunitas Perahu Kata. Telah menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul “Surat dari Saranjana” (2019) dan “Hilangnya Kubah Masjid” (2020). Beberapa cerpennya juga tersebar di media massa dan media online. IG: @munof_