TERAS7.COM – Prof.Dr. Komaruddin Hidayat dalam bukunya Psikologi Beragama (2008) menuliskan, harus kita akui bahwa puasa Ramadhan itu perintah wajib dari Allah Swt. Akan tetapi, jika kita renungkan dalam-dalam, target dan muara etis dari puasa dan juga ibadah-ibadah lain yang diperintahkan Allah Swt berorientasi pada humanistik-horizontal.
“Maksudnya, terdapat kebenaran universal dari ibadah puasa khususnya, yakni kita membebaskan diri dari sekian jeratan gravitasi aktivitas hidup duniawi yang telah memenjarakan dan menjauhkan kita dari pusat dan pemilik hidup sendiri, Allah Swt,” tulis Komaruddin Hidayat.
Lewat puasa, Komaruddin Hidayat menerangkan, kita melakukan perlawanan dengan menjungkirbalikkan bangunan rutinitas duniawai sehari-hari. Kemudian, kita berusaha kembali ke pusat gravitasi dan pusat orientasii hidup yang paling autentik melalui pendakian spiritual memasuki atmosfer Ilahi. Dengan semangat Ramadhan, kita dapat melakukan dekonstruksi kemapanan hidup kita yang cenderung pengap dan terkontaminasi oleh berbagai penyimpangan hidup duniawi. Lalu, kita rekonstruksi ulang untuk merevitalisasi kefitrian atau kesucian kita.
“Oleh karena itulah, selama bulan Ramadhan, kita dianjurkan lebih banyak diam, merenung, bermuhasabah, dan memperbanyak dialog dengan diri serta Tuhan sambil berempati dengan persoalan, penderitaan, kesulitan, dan kesusahan orang lain melalui penghayatan tentang makna lapar dan haus. Puasa, seperti ditegaskan Rasulullah Saw, tidak sekedar menahan diri dari syahwat makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari syahwat organ tubuh, pikiran, dan hati. Semuanya harus berlatih dan melakukan puasa,” Komaruddin Hidayat menuliskannya dalam buku Psikologi Beragama (Hal 221).
Dampak nyata bila kita berpuasa adalah membangun relasi kata dan perilaku. Komaruddin Hidayat melanjutkan bahwa kelanjutan dari perintah ibadah puasa adalah perintah untuk melakukan aksi sosial. Misalnya, menunaikan infak, sedekah, dan mengeluarkan zakat fitrah pada akhir bulan Ramadhan.
“Oleh karena itu, bulan Ramadhan juga disebut sebagai bulan Tuhan, bulan spiritual, bulan instropeksi, dan bulan persaudaraan serta bulan peduli terhadap fakir miskin dan yatim piatu. Selama bulan Ramadhan, kita bisa merenung, menyucikan hati, pikiran, dan perilaku. Harapan yang muncul sehabis ramadhan adalah memperoleh pencerahan. Dan, kita bisa keluar dari belenggu krisis multidimensi,” Komaruddin Hidayat mengakhiri tulisannya dalam sebuah artikel yang berjudul Pengendalian Diri, Penyucian Jiwa.