TERAS7.COM – Gunung Pamaton yang berada di Desa Kiram, Kecamatan Karang Intan selama beberapa waktu ini kembali menjadi sorotan.
Pasalnya ada salah satu Youtuber asal Hulu Sungai Utara (HSU) yang mengaku tersesat dan membuat tim relawan terpaksa harus memberikan tindakan penyelamatan.
Untungnya sang Youtuber tersebut berhasil dibawa turun pada Senin (14/2/2022) dalam keadaan sehat dan bisa berkomunikasi dengan baik.
Gunung Pamaton menurut data dari Wikipedia Indonesia pada mulanya bernama “Pamuatan” yang dalam bahasa Banjar yang artinya tempat memuat penumpang/barang karena gunung tersebut diibaratkan sebagai tempat berlabuh.
Gunung yang dianggap keramat bagi Suku Banjar ini dinamakan dari kosakata atau hal-hal yang berhubungan dengan sungai atau laut yang menjadi kebiasaan dalam penamaan beberapa tempat di Kalimantan Selatan.
Ketinggian Gunung Pamaton sendiri diperkirakan sekitar 450 meter dan dikelilingi pemandangan pegunungan meratus yang hijau dan akses menuju ke gunung cukup mudah, karena disekitarnya ada beberapa tempat wisata.
Di sebelah utara sendiri terdapat wisata Air Terjun Janda Beranak 3 yang sempat viral, sementara dibagian selatannya terdapat Villa Aranaway yang berada di pinggir Sungai Kiram.
Gunung ini juga menjadi akses jalan beraspal menuju tempat wisata Gunung Mawar, dimana di kaki gunungnya sendiri terdapat prasasti yang dibuat dan ditandatangani Raja Muda Khairul Saleh pada 10 Muharram 1433 H atau 7 Desember 2011.
Tak hanya dikenal karena memiliki unsur mistis, Gunung Pamaton juga menyimpan sejarah yang cukup penting, khususnya dalam Perang Banjar yang berlangsung mulai tahun 1859 hingga 1863 versi Belanda atau hingga 1905 menurut versi Banjar.
Dalam buku “Pangeran Hidayatullah, Perjuangan Mangkubumi Kesultanan Banjarmasin” yang diterbitkan Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2019, Gunung Pamaton menjadi salah satu benteng pejuang melawan Belanda.
Kisah ini sendiri dituliskan secara jelas pada halaman 46-48 dalam buku yang ditulis tim peneliti yang terdiri dari Bambang Subiyakto, Ersis Warmansyah Abbas, M. Zaenal Arifin Anis, Yusliani Noor, Syaharuddin, Mansyur, Wajidi, dan Sirpan ini.
Gunung yang berdiri kokoh di selatan Bukit Besar Mandiangin ini menjadi pusat pertahanan Pangeran Hidayatullah pada bulan Juni 1861.
Rakyat Gunung Pamaton menyambut kedatangan Pangeran Hidayat dan membuat benteng pertahanan sebagai usaha mencegah serangan Belanda yang akan menangkap Pangeran Hidayat.
“Sementara itu Pangeran Hidayat berunding dengan Mufti di Martapura. Perundingan pertama diadakan di Kalampayan dan yang kedua di dalam Pagar,” tulisnya.
Dalam perundingan itu disepakati rencana akan melakukan serangan umum terhadap kota Martapura, dimana para penghulu dan alim ulama akan mengerahkan seluruh rakyat melakukan jihad perang sambil mengusir Belanda dari bumi Banjar.
Sayangnya rencana serangan umum yang akan dilakukan pada tanggal 20 Juni 1861 itu itu bocor ke tangan Belanda, karena itu sebelum tanggal 20 Juni Belanda secara tiba-tiba menyerang benteng Gunung Pamaton tempat pertahanan Pangeran Hidayat.
“Serangan Belanda itu dapat digagalkan dengan banyak membawa korban di pihak Belanda. Sementara itu di kampung Kiram, tidak jauh dari Gunung Pamaton dan di daerah Banyu Irang, Pambakal Intal dan pasukan Tumenggung Gumar telah berhasil menghancurkan kekuatan Kopral Neyeelie,” lanjutnya.
Mayat-mayat pasukan Belanda yang dihancurkan tersebut dihanyutkan di sungai Pasiraman dan Pambakal Intal sendiri berhasil menguasai senjata serdadu Belanda yang terbunuh tersebut.
Serangan selanjutnya dilakukan oleh Mayor Koch secara besar-besaran terhadap benteng Gunung Pamaton, mendahului rencana serangan umum terhadap Martapura oleh rakyat yang bocor ke pihak Belanda.
Rakyat seluruh daerah Martapura dan sekitarnya kemudian bangkit melakukan serangan sehingga hampir di seluruh pelosok terjadi pertempuran, yang juga merambat ke daerah Kuala Tambangan hingga di sekitar Mataraman yang dipimpin oleh Pembakal Mail yang berjibaku melawan serdadu Belanda.
Namun Tumenggung Gamar yang akan membawa pasukannya memasuki kota Martapura ternyata tidak berhasil, karena Belanda telah mempersiapkan pertahanan yang lebih kuat.
Rupanya Pasukan Belanda bukan saja menyerang benteng Gunung Pamaton yang belum berhasil dikuasainya, tetapi juga membakar rumah-rumah penduduk yang tidak berdosa sekaligus membinasakan kebun-kebun dan menangkapi penduduk, sehingga penjara Martapura penuh sesak.
“Dalam pertempuran di Gunung Pamaton tersebut banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Letnan Ter Dwerde dan Kopral Grimm tewas kena tombak dan tusukan keris di perutnya. Serangan bulan Juni terhadap benteng Gunung Pamaton berhasil digagalkan oleh rakyat yang hanya memiliki persenjataan sederhana,” jelasnya.
Memang benteng Gunung Pamaton saat itu dipertahankan oleh Pangeran Hidayat dibantu pimpinan perang lain yang gagah berani seperti Demang Lehman, Tumenggung Gamar Raksapati, Kiai Puspa Yuda Negara hingga pahlawan wanita Kiai Cakrawati yang selalu menunggang kuda yang sebelumnya ikut mempertahankan benteng Gunung Madang.
Beberapa minggu kemudian pada bulan Agustus 1861, Mayor Koch sekali lagi mengerahkan pasukannya menyerbu Gunung Pamaton dimana sebelum serangan dilakukan mereka menghancurkan semua ladang, lumbung padi rakyat, hutan-hutan, dengan harapan menghancurkan persediaan bahan makanan, dan menghancurkan hutan-hutan yang dapat dijadikan benteng pertahanan.
“Mayor Koch gagal dalam usahanya untuk menangkap Pangeran Hidayat dan pimpinan perang lainnya, karena sebelumnya benteng ini telah ditinggalkan, karena rakyat menggunakan siasat gerilya dalam usaha melawan Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih baik. Perang gerilya adalah salah satu siasat mengantisipasi musuh yang memiliki persenjataan lebih unggul,” tutupnya.