TERAS7.COM – Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadisdikbud) Provinsi Kalimantan Selatan, Muhamadun memberikan suara terkait dugaan intoleransi yang dilakukan SMA Negeri 1 Banjarbaru karena mengadakan kegiatan sekolah bertepatan Hari Raya Waisak pada 16 Mei lalu.
Muhamadun membantah tuduhan yang mengatakan bahwa SMA Negeri 1 Banjarbaru telah melakukan tindakan intoleransi karena melaksanakan kegiatan sekolah di Hari Raya Waisak.
“Itu bukan hal yang menyangkut intoleransi, itu menyangkut seorang anak peserta didik yang mana pada hari libur dia diminta oleh kakaknya untuk menemuinya,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya. Rabu (18/05/2022).
Ia menjelaskan kronologisnya, saat itu peserta didik yang merupakan murid SMA Negeri 1 Banjarbaru memiliki kegiatan persiapan pameran pada 16 Mei atau bertepatan Hari Raya Waisak.
Pada kesempatan yang sama, karena mengetahui tanggal 16 merupakan hari libur nasional. Lantas, kakak dari sang murid SMA Negeri 1 Banjarbaru ini meminta adiknya untuk mendatanginya.
“Kebetulan sang adik ini peserta didik di SMAN 1 Banjarbaru itu punya kegiatan untuk persiapan pameran pada tanggal 16 (Mei). Nah di tanggal 16 itu kemungkinan banyak siswa-siswa yang gotong royong lalu dia tetap ingin ikut di kegiatan tersebut,” bebernya.
Padahal lanjut Muhamadun, jika murid itu memang ingin menemui kakaknya tidak masalah, asalkan tetap menyampaikan izin tersebut ke wali kelas, dan kepala sekolah.
“Kalau dia memangnya mau menemui kakaknya silahkan, karena disitu disebutkan wali kelas atau harus izin wali kelas dan kepala sekolah tidak ada persoalan dan ini tidak ada sangkut pautnya dengan masalah toleransi,” ungkapnya.
Sehingga, persoalan ini menurutnya tidak ada sangkut pautnya dengan intoleransi yang dituduhkan, melainkan hanya kegiatan sekolah yang kebetulan jatuh pada tanggal merah.
“Tidak ada sangkut pautnya sama sekali karena di sekolahan itu siapa saja orang berhak melaksanakan ibadah menurut kepercayaannya dan agama yang dianut, jadi ini persoalan kegiatan yang kebetulan jatuh pada tanggal merah,” ucapnya.
Namun menurut Muhamadun, lain lagi halnya jika ada sebuah paksaan meminta seseorang yang seharusnya merayakan perayaan keagamaannya malah dilarang, hal ini baru bisa disebut intoleransi.
“Kalau ada paksaan, misalnya seseorang yang beragama pada saat dia ingin merayakan lalu tidak dibolehkan itu yang baru namanya intoleransi, nanti pasti saya akan tegur,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia sangat menyayangkan jika persoalan yang hanya kegiatan sekolah di hari libur oleh SMA Negeri 1 Banjarbaru ini dicap sebagai tindakan intoleransi.
“Ini persoalan hari libur ada kegiatan, jadi jangan melebar, jangan dijadikan hal ini menyeramkan seperti intoleransi, ini hanya persoalan hari libur yang ditetapkan oleh menteri, dan menteri menetapkan Hari Waisak adalah libur,” terangnya.
Sedangkan untuk ancaman nilai 0 bagi yang tidak ikut persiapan, Muhamadun menyebut itu hanya sebuah strategi dari guru agar kegiatan ini bisa diikuti oleh murid.
“Saya sudah temui gurunya, dan itu hanya sebuah bagian daripada strategi lah agar mereka hadir dan kompak, bergotong-royong bersama-sama, tidak ada (ancaman itu),” ungkapnya.
Karena menurutnya, penilaian persiapan seperti ini tidak ada di dalam kurikulum pendidikan. Berbeda dengan ujian nasional, ulangan, dan Pekerjaan Rumah (PR) yang memang ada disebutkan dalam kurikulum, sehingga wajib diikuti.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPRD Kota Banjarbaru Emi Lasari menyayangkan atas adanya kegiatan sekolah yang telah dilakukan oleh SMA Negeri 1 Banjarbaru pada Hari Raya Waisak tersebut.
“Ketika sekolah itu mengadakan kegiatan di hari besar keagamaan yang ditetapkan oleh pemerintah secara nasional, aku rasa sangat disayangkan, karena kan memang sekolah itu merupakan satu wadah pendidikan bagi karakter anak didik, yang kemudian itu menjadi pondasi untuk membentuk kepribadian anak didik,” ungkapnya.
Selaku ujung tombak pendidikan, seharusnya menurut Emi sekolah bisa untuk memberikan pengajaran tentang toleransi satu sama lain antar umat beragama.
Disisi lain, menurut Emi, adanya libur nasional yang ditetapkan oleh pemerintah juga pasti memiliki tujuan. Lalu, jika sekolah tetap memaksakan melakukan kegiatan, itu sama saja tidak menghargai.
“Kenapa harus dipaksa kan ada kegiatan, nah ini kan bagian dari cerminan kita mengajarkan untuk tidak menghargai, jadinya sebenarnya itu tidak boleh dilakukan,” ucap Emi yang juga Ketua DPD PAN Banjarbaru.
Ia berharap, instansi pemerintah terkait kedepannya dapat melakukan pengawasan lebih terhadap sekolah agar tidak mengulangi persoalan serupa, yang dikhawatirkan dapat memunculkan tindakan intoleransi antar agama dalam diri anak murid.
“Karena kita khawatir dampaknya nanti menjadi tidak mendidik siswa untuk bertoleransi terhadap perbedaan agama,” ungkapnya.
Karena menurut Emi, toleransi merupakan sikap seseorang untuk bisa saling menghargai perbedaan antar umat beragama.