TERAS7.COM – Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (BADKO HMI) Kalimantan Selatan mengingatkan agar revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tidak membuka peluang kembalinya dwi fungsi ABRI yang bertentangan dengan semangat reformasi.
Ketua Umum BADKO HMI Kalimantan Selatan, Abdi Aswadi, menegaskan bahwa meskipun revisi UU TNI bisa ditoleransi sesuai kondisi saat ini, namun harus tetap berpegang pada prinsip reformasi.
“Kita masih bisa mentoleransi revisi UU TNI dengan kondisi kekinian, namun jangan sampai revisi UU TNI ini membuka peluang kembalinya dwi fungsi ABRI secara soft power karena ini jelas mengkhianati spirit reformasi,” ujar Abdi Aswadi.
Ia juga menyoroti bahwa dari tiga cabang kekuasaan, yakni eksekutif, yudikatif, dan legislatif, hanya legislatif yang belum memberikan ruang bagi TNI. Sementara di cabang kekuasaan lainnya, TNI sudah memiliki peran.
“Dari tiga cabang kekuasaan, yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, revisi UU TNI hanya tidak memberikan ruang bagi TNI di legislatif. Sedangkan di dua cabang lainnya, TNI sudah masuk,” tambahnya.
Revisi UU TNI yang tengah dibahas mencakup beberapa poin kontroversial, seperti perluasan jabatan sipil bagi perwira TNI di lebih banyak kementerian dan lembaga. Sejumlah pihak mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini dapat membuka jalan bagi keterlibatan militer dalam urusan sipil secara lebih luas. Selain itu, usulan untuk memberikan wewenang lebih besar kepada Panglima TNI dalam pengelolaan sumber daya pertahanan juga menimbulkan perdebatan.
Sejumlah akademisi dan pengamat militer menilai bahwa perubahan ini berpotensi melemahkan prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan. Mereka mengingatkan bahwa reformasi sektor keamanan pada 1998 bertujuan untuk membatasi peran militer dalam politik dan pemerintahan.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, menyatakan bahwa revisi UU TNI bertujuan untuk menyesuaikan aturan dengan perkembangan zaman. Namun, ia menegaskan bahwa perlu ada batasan yang jelas agar tidak mengganggu keseimbangan antara militer dan sipil.
“Kita harus memastikan revisi ini tidak menyalahi prinsip supremasi sipil dan reformasi pertahanan yang telah kita bangun,” katanya.
Sementara itu, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menyoroti bahwa perluasan jabatan sipil bagi perwira TNI harus memiliki mekanisme yang ketat agar tidak menjadi jalan bagi kembalinya dwi fungsi militer.
“Kita harus berhati-hati, jangan sampai revisi ini malah menciptakan ambiguitas dalam peran TNI di ranah sipil,” ujarnya.
Akademisi dari Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, berpendapat bahwa revisi ini harus tetap berada dalam koridor reformasi yang telah disepakati pasca-1998.
“Jika ada perubahan, harus dipastikan bahwa tujuan akhirnya tetap memperkuat profesionalisme TNI, bukan justru memperlebar pengaruhnya di luar pertahanan negara,” tegasnya.
BADKO HMI Kalimantan Selatan berharap agar revisi UU TNI dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi dan reformasi yang telah diperjuangkan, serta tidak memberikan celah bagi kembalinya praktik yang bertentangan dengan cita-cita perubahan di Indonesia.