TERAS7.COM – Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Banjarmasin menyoroti kasus hukum yang menjerat UMKM di Banjarbaru yakni Mama Khas Banjar.
Menurut BPOM, kasus ini seharusnya merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, seperti yang saat ini disangkakan kepada pemilik usaha.
“Idealnya, kasus ini ditangani berdasarkan UU Pangan,” ujar Kepala BPOM Banjarmasin, Leonard Duma, Senin (10/03/2025).
Duma menekankan, dalam kasus pelanggaran oleh UMKM, langkah pertama seharusnya mengutamakan pembinaan, bukan langsung memproses secara pidana.
“Jika ada pelanggaran di bidang pangan oleh UMKM, sebaiknya lebih dulu dilakukan pembinaan dan sanksi administratif,” katanya.
Namun, jika pelanggaran dinilai berat dan memerlukan sanksi tegas, Duma tetap menegaskan bahwa UU Pangan harus menjadi acuan utama.
“Pendapat kami berdasarkan asas hukum lex specialis derogat legi generali, yang berarti hukum khusus mengesampingkan hukum umum,” jelasnya.
Duma mengungkapkan bahwa BPOM sendiri sering menangani kasus serupa, tetapi selalu mengedepankan pembinaan, sanksi administratif, serta perintah penarikan dan pemusnahan produk sebelum membawa kasus ke ranah hukum.
“Apabila pelaku usaha masih tidak patuh setelah mendapat pembinaan, barulah kami proses sesuai UU Pangan,” tambahnya.
Oleh karena itu, ia mengapresiasi upaya DPRD Kota Banjarbaru yang aktif membela UMKM dalam kasus yang menyeret Mama Khas Banjar ini.
“Kami mengapreaiasi upaya yang dilakukan oleh DPRD Kota Banjarbaru karena hal ini menunjukkan keberpihakan kepada UMKM yang ada,” ungkapnya.
Perkara ini juga mendapat perhatian dari Anggota Komisi II DPRD Kota Banjarbaru, Emi Lasari. Ia mengaku prihatin dan menilai kasus seperti ini seharusnya tidak langsung berujung pada pidana.
“UMKM berperan besar dalam perekonomian daerah dan menyerap banyak tenaga kerja. Seharusnya ada perlindungan bagi mereka, bukan justru dibawa langsung ke ranah hukum,” kata Emi.
Ia juga mengingatkan adanya Nota Kesepahaman (MoU) antara Polri dan Kementerian Koperasi UKM pada 2021 (Nomor: NK/35/X/2021 – Nomor: 22/KB/M.KUKM/X/2021), yang menekankan pendekatan pembinaan terhadap UMKM.
Maka dari itu, Emi mempertanyakan mengapa kesepakatan Polri-Kemenkop UKM ini tidak diterapkan dalam kasus Mama Khas Banjar.
“Apakah kesepakatan ini hanya pemanis di tingkat atas dan tidak sampai ke daerah?” cetusnya.
Seharusnya pula menurut Emi, kasus ini lebih tepat mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang mengatur kewajiban pelaku usaha mencantumkan informasi produk, termasuk tanggal kedaluwarsa.
“Jika ada pelanggaran, UU Pangan mengutamakan pembinaan, bukan pidana,” tegasnya.