TERAS7.COM – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan jika praktik politik uang atau dikenal dengan ‘serangan fajar’ haram hukumnya bagi pelaku maupun penerima.
“Orang yang akan dipilih atau yang mencalonkan diri juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih, seperti menyuap atau dikenal serangan fajar hukumnya haram,” ujar Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh, dalam keterangan resminya di Jakarta, pada Selasa (13/02/2024).
Lanjutnya, memilih pemimpin harus berdasarkan kompetensi, di mana pemimpin yang terpilih idealnya yang mengemban amanah demi kemaslahatan.
Dalam memilih pemimpin, menurutnya juga didasarkan pada sifat tabligh atau kemampuan eksekusi, serta yang fathanah atau memiliki kompetensi.
Maka dari itu, Prof Niam menegaskan, tidak boleh memilih pemimpin didasarkan kepada sogokan atau pemberian harta.
Guru Besar Ilmu Fiqih Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini juga mengatakan, jika para pelaku dan penerima serangan fajar hidupnya tidak berkah.
Terkait keharaman serangan fajar itu, Prof Niam menyampaikan, jika Majelis Ulama Indonesia juga telah menetapkan Fatwa tentang Hukum Permintaan dan atau Pemberian Imbalan atas proses pencalonan pejabat publik.
Penetapan fatwa tersebut dalam Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada 2018 lalu.
Berikut isi ketetapan fatwa tersebut:
1. Suatu permintaan dan/atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik, padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenanganya hukumnya haram, karena masuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah.
2. Meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
3. Memberi imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan public lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
4. Imbalan yang diberikan dalam proses pencalonan dan/atau pemilihan suatu jabatan tertentu tersebut dirampas dan digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum.