TERAS7.COM – Mandikapau adalah sebuah kampung yang berada di Kecamatan Karang Intan yang terkenal dengan objek wisata danau Tamiyang.

Berada di kawasan pegunungan Meratus, secara administrasi kampung ini dibagi atas 2 desa, yaitu Desa Mandikapau Barat dan Desa Mandikapau Timur.
Sebelum terkenal dengan objek wisatanya seperti sekarang, ternyata kampung ini menyimpan kisah yang menarik, hal ini didapatkan Teras7.com saat bertemu Kepala Desa Mandikapau Barat, Abdul Basith beberapa waktu yang lalu.
Kepala desa yang pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Banjar ini menceritakan awal mula terbentuknya 2 desa di Mandikapau dan danau tamiyang hingga menjadi desa wisata.

“Asal mulanya masyarakat kami sebelum tahun 1990 tinggal di pinggir sungai Riam Kanan. Setelah selesainya pembangunan Bendungan Karang Intan dan Irigasi, kampung kami ditenggelamkan. Yang awalnya sungai hanya selebar 70 meter, usai bendungan tersebut selesai lebarnya menjadi 300 meter menjadi danau,” katanya.
Masyarakat kampung Mandikapau yang tergusur Bendungan Karang Intan pun ujar Abdul Basith mendapatkan biaya ganti dengan nilai antara 40.000-80.000 permeter.
“Jadi masyarakat mendapat ganti rugi dan mendapat tanah 12×25 meter untuk membangun rumah di kawasan yang lebih tinggi. Usai pindah, sungai tidak pernah dipakai lagi karena masyarakat sudah memiliki sumur, kamar mandi dan WC di rumah mereka sendiri,” ujarnya.
Walaupun tidak menggunakan sungai untuk keperluan sehari-hari, masyarakat masih sering bersentuhan dengan sungai ini, terutama masyarakat yang memiliki lahan pertanian di seberang kampung.

“Dulu masyarakat masih memakai perahu untuk menyeberang menuju kebun dan ladang mereka. Setelah kendaraan darat mulai masuk, kami secara bergotong royong mulai membangun jembatan untuk membantu masyarakat yang ingin menyeberang. Pertama-tama jembatan dari susunan bambu, lalu dibuat dari dengan diperkuat drum. Terakhir baru dibuat dengan kayu ulin hingga sekarang. Jembatan yang ini dibangun sepanjang 131 meter dengan dana swadaya masyarakat tanpa bantuan pemerintah sekitar 10 tahun yang lalu. Sementara yang sekarang diuruk sepanjang 200 meter itu dahulu titian dari kayu ulin,” cerita Abdul Basith.
Bertahun-tahun tak dirawat dan dipenuhi dengan tanaman eceng gondok, sekitar tahun 2017 masyarakat secara gotong royong dipimpin Kepala Desa Abdul Basith membersihkan danau.
“Usai dibersihkan akhirnya danau menjadi terbuka dan nyaman dilihat. Masyarakat mulai berusaha seperti mencari koral dan memasang tambak ikan. Lalu kami jadikan tempat wisata alam dengan menggunakan dana desa dan menjadi booming dan ramai hingga sekarang,” ungkapnya.
Danau Tamiyang ini sekarang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang sudah memiliki aset setengah miliar setelah 1 tahun pengelolaannya.
“Kami berharap dengan dikelola BUMDes ini, wisata ini dapat menyumbang pendapatan asli desa sebesar 50 juta rupiah pada tahun 2019 ini. Pendapatan ini akan kami gunakan 30% untuk penjaga wisata dan kas desa, sedangkan 70% kami berikan bagi mereka yang sedang membutuhkan seperti membantu anak yang kurang mampu yang ingin masuk sekolah dan biaya rumah sakit,” terang Abdul Basith.
Ke depan objek wisata Danau Tamiyang ini diharapkan dapat menjadi wisata alam unggulan di Kabupaten Banjar dengan membangun beberapa sarana pelengkap bagi pengunjung seperti tempat bermain bagi anak, WC dan mushala.