TERAS7.COM – Roni (42) dan Umar (42), dua buruh perumahan asal Tabalong, Kalimantan Selatan, kini menjalani hari-hari mereka di balik jeruji besi. Keduanya terlibat dalam kasus hukum yang pelik setelah diduga menjual tanah urug di proyek pembangunan perumahan subsidi Anugerah Tapin Regency. Ironisnya, hanya karena seonggok tanah urug itulah mereka kini dikenai jerat hukum berdasarkan Undang-Undang Minerba oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Tapin.
Penangkapan keduanya berlangsung pada Senin, 14 April 2025. Sejak saat itu, selama hampir dua bulan, Roni dan Umar harus menghadapi proses hukum yang dianggap janggal oleh tim kuasa hukum mereka.
Drama Penangkapan dan Tuduhan Penjualan Tanah Ilegal
Menurut keterangan polisi yang disampaikan pada Senin (5/5) dalam konferensi pers resmi, keduanya diduga telah tiga kali menjual tanah urug dari proyek perumahan tanpa izin. Polisi juga menyebut alat berat seperti ekskavator dan truk yang digunakan merupakan milik pengembang.
“Penangkapan dilakukan saat mereka kedapatan menjual satu truk tanah. Tapi setelah didalami, ternyata aksi serupa sudah dilakukan beberapa kali,” ujar Kasat Reskrim AKP Galih Putra Wiratama.
Namun, fakta-fakta yang diungkap oleh kuasa hukum Roni dan Umar menunjukkan cerita yang berbeda. Menurut advokat Hartinudin, ada indikasi bahwa keduanya dijebak.

Konferensi pers penangkapan Roni dan Umar yang digelar Polres Tapin di halaman kantor Satreskrim Polres Tapin pada Selasa, 5 Mei 2025. Foto: Untung
Kronologi Versi Pembelaan : Diduga Jebakan & Kesewenangan
Dalam Keterangan kronologis yang diutarakan Hartinudin kepada hakim, pada hari penangkapan, Roni dan Umar tengah bekerja seperti biasa : menguruk fondasi rumah dalam area proyek perumahan.
Sekitar pukul 14.00 WITA, seseorang yang tak dikenal datang menawarkan diri untuk membeli tanah dan memintanya diantarkan ke tempat yang berada di luar wilayah perumahan. Lantas permintaan ini pun ditolak. Namun orang tersebut kemudian mengubah permintaan : meminta tanah itu dipindahkan ke halaman rumah “adiknya”, masih dalam area perumahan yang hanya berjarak sekitar 100 m.
Roni dan Umar sempat menyarankan penggunaan sirtu (pasir batu) ketimbang tanah urug, tetapi ditolak. Mereka pun akhirnya menuruti permintaan tersebut karena masih dalam cakupan pekerjaan mereka sebagai buruh proyek.
Usai mengantar tanah ke lokasi yang dimaksud, orang tersebut menyerahkan uang yang disebut sebagai “upah angkut” dengan nominal Rp.300 ribu kepada Roni yang awalnya diberikan kepada Umar, namun ditolak. Tak lama berselang, adegan berubah cepat. Kamera ponsel menyala, memotret Roni memegang uang, orang tersebut berdalih sebagai bukti pembelian tanah urug kepada adiknya.
Singkat cerita, setelah urusan selesai, dalam hitungan menit keduanya disergap polisi ketika sedang menuju ke lokasi kerja awal disekitar perumahan. Sebuah truk dengan nomor polisi DA 8307 HG turut disita sebagai barang bukti.
“Ada satu pekerja lagi yang dibawa ke Polres Tapin, namanya Yohanes. Saat ditangkap ia berada di basecamp, sedang sakit kepala. Namun, setelah diperiksa ia dilepaskan karena disebut tak terbukti terlibat,” ujar Hartinudin.

Tumpukan tanah urug sisa perataan jalan di area perumahan subsidi Anugerah Tapin Regency, Tapin, tempat Roni dan Umar bekerja sebagai buruh proyek. Tanah ini merupakan hasil dari proyek perataan jalan perumahan yang dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas di kawasan tersebut. Foto: Untung
Lebih lanjut Hartinudin menerangkan, pada pukul 22:27 WITA, pihak kepolisian memanggil Direktur PT Anugerah Berkah Bersama yakni Henry Lubis melalui pesan WhatsApp.
Esok harinya, Selasa (15/4) Lubis memenuhi panggilan itu : untuk diperiksa di ruang Tipidter, turut disambut Kasat Satreskrim Polres Tapin AKP Galih. Lubis dicecer sejumlah pertanyaan soal anak buahnya yang ditangkap hingga diminta mengenai dokumen perizinan perusahaan.
Setelah dialog panjang. Pihak kepolisian menyatakan akan menindak secara normatif. Usai memenuhi agenda itu, lalu Lubis dipersilahkan untuk pulang. Tanggal 19 April, Lubis kembali dipanggil diminta sebagai saksi atas kasus yang menimpa usaha dan anak buahnya itu.
Pertanyakan Legalitas Penangkapan
Pada sidang praperadilan ini, Hartinudin menilai proses hukum ini penuh kejanggalan dan menuding pihak kepolisian cacat secara hukum untuk menetapkan status tersangka dan penahanan terhadap Roni dan Umar. Sebab, menurut Hartinudin, surat penahanan baru diterima keluarga tiga hari setelah penangkapan, yakni pada 16 April. Padahal, seharusnya surat-surat tersebut diberikan saat atau segera setelah penangkapan.
“Jika laporan baru dibuat setelah penangkapan, maka tidak ada dasar hukum yang sah saat penangkapan terjadi. Ini pelanggaran serius terhadap asas legalitas dan prosedur hukum,” tegas Hartinudin seorang advokat yang dikenal getol membela masyarakat miskin dan buruh.
Ia juga menyebut penangkapan Roni dan Umar melanggar hak asasi manusia.
“Mereka ditangkap tanpa alasan hukum yang sah. Ini bentuk kriminalisasi dan pelanggaran HAM,” tambahnya.

Suasana sidang praperadilan terkait penangkapan Roni dan Umar di Pengadilan Negeri Rantau. Foto: Untung
Proses Praperadilan dan Harapan Keadilan
Sidang praperadilan digelar di Pengadilan Negeri Rantau untuk menguji keabsahan proses hukum ini. Persidangan pertama pada 3 Juni sempat tertunda karena ketidakhadiran pihak Polres Tapin. Sidang dilanjutkan pada Rabu (11/6), dipimpin oleh Hakim Shelly Yulianti, dan memberi ruang bagi pihak pemohon menyampaikan seluruh keberatan mereka.
Dalam sidang, kuasa hukum membeberkan dugaan rekayasa, penyitaan tanpa dasar, dan penyelidikan yang cacat hukum. Bahkan, Direktur PT Anugerah Berkah Bersama, Henry Lubis, sempat diperiksa oleh penyidik hanya untuk dimintai dokumen perizinan tanpa status hukum yang jelas.
Nasib Dua Pekerja dan Catatan HAM
Roni dan Umar, dua buruh yang hanya menjalankan pekerjaan di lapangan, kini menghadapi ancaman pidana. Selama 58 hari, mereka telah kehilangan mata pencaharian, terpisah dari keluarga, dan menjadi sorotan karena tanah urug yang nilainya tak seberapa.
“Terlepas dari segala hal. Perlu diingat. Ada potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam perkara ini. Dalam hak asasi, Roni dan Umar sangat dirugikan, karena penangkapan tanpa dasar hukum. Jelas, kita bisa mengkategorikan ini adalah bentuk pelanggaran HAM, mereka ditangkap tanpa alasan yang sah dan cacat prosedural,” tegas Haritinudin.

Haritinudin, kuasa hukum Roni dan Umar, memberikan keterangan kepada awak media sesaat setelah persidangan praperadilan di Pengadilan Negeri Rantau pada 12 Mei 2025. Foto: Untung
Saat ini proses praperadilan masih berlanjut. Harapan keluarga dan kuasa hukum kini bertumpu pada putusan hakim yang diharapkan memulihkan keadilan, membatalkan penangkapan, dan membebaskan dua buruh tersebut dari jerat hukum yang diduga sarat pelanggaran prosedural.
“Maka, atas segala tindakan polisi melakukan : penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan, serta penyitaan barang dan penggeledahan atas diri tersangka dengan sendirinya menjadi tidak sah. Sehingga sangat layak hakim pemeriksa perkara ini untuk memutuskan bahwa penangkapan, surat penetapan tersangka, surat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan, surat perintah penyidikan, penggeledahan dan penyitaan dalam perkara ini tidak sah menurut hukum, oleh karena itu kedua tersangka : harus dibebaskan,” tutupnya.