TERAS7.COM – Mendengar kata Saranjana, pasti sebagian orang akan membayangkan sebuah kota gaib yang ada di Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Pasalnya dalam berbagai penelusuran di internet, nama Saranjana selalu dikaitkan dengan sebuah kota yang konon katanya dihuni makhluk gaib dan punya peradaban yang modern.
Bagi masyarakat Kalimantan Selatan sendiri, kota ini dikatakan terletak di sebuah bukit kecil di Desa Oka-Oka Kecamatan Pulau Laut Kelautan, Kabupaten Kotabaru, berbatasan langsung dengan laut dengan pemandangan yang indah, tapi dianggap angker bagi penduduk sekitar.
Yang lebih mencengangkan lagi, walaupun kota ini tak tercatat dalam peta Indonesia modern, tapi keberadaannya eksis dalam beberapa peta di zaman Hindia Belanda.
Seperti peta buatan Salomon Muller, naturalis Jerman yang berjudul Kaart van de Kust-en Binnenlanden van Banjermasing behoorende tot de Reize in het zuidelijke gedelte van Borneo (Peta Wilayah Pesisir & Pedalaman Borneo) tahun 1845 yang mengambarkan wilayah dengan nama Tandjong Serandjana.
Tandjong Serandjana ini terletak di sebelah selatan Pulau Laut berbatasan dengan wilayah Poeloe Kroempoetan (Pulau Kerumputan) dan Poeloe Kidjang (Pulau Kijang).
Nama wilayah Saranjana juga muncul di tahun 1913 dalam peta “Sketch map of the Residency Southern and Eastern Division of Borneo” tahun 1913 yang menuliskan adanya wilayah Saranjana/T. Sarang Djanak.
Sumber lainnya berasal dari PJ Veth, dalam kamus terbitan P.N. van Kampen tahun 1869, Veth menuliskan “Sarandjana, tanjung di sisi selatan Poeloe Laut, sebuah pulau di tenggara Kalimantan,” yang secara terminologi kalau dikomparasikan kosakata India, “Saranjana” berarti tanah yang diberikan.
Dosen PSP Sejarah FKIP ULM Banjarmasin, Mansyur dalam salah satu postingnya di instagram pribadinya (@sammyxnyder_istorya) mengatakan mitos wilayah Saranjana dalam persfektif ilmiah ini memunculkan beberapa dugaan pendapat sementara.
“Satu diantaranya, bahwa Saranjana adalah wilayah kekuasaan Suku Dayak yang bermukim di Pulau Laut (Dayak Pulau Laut). Terdapat versi bahwa suku Dayak di Pulau Laut era itu, adalah sub Suku Dayak Samihim. Sub-etnis suku Dayak yang mendiami daerah timur laut Kalimantan Selatan, dengan kehidupan semi nomaden,” ujarnya.
Tim Ahli Cagar Budaya Banjarmasin ini menduga wilayah Saranjana sudah ada sebelum tahun 1660 Masehi dan Saranjana sendiri pada era itu adalah suatu ethnic state atau negara/kerajaan suku dengan wilayah meliputi Pulau Halimun (Pulau Laut) bagian selatan.
“Pemimpinnya adalah Sambu Ranjana, dengan pusat kekuasaan di Saranjana. Awalnya menganut kepercayaan animisme. Tetapi seiring perkembangannya, mulai mendapat pengaruh Hindu lama. Sesuai pendapat Faisal Batennie, agama yang pertama kali berkembang di Pulau Laut adalah Hindu. Nama “Sambu” (Shambu) tidak terlepas dari kepercayaan Hindu. Misalnya dalam Kitab Reg Veda (Reg Weda). Nama Sambu adalah bagian dari 11 rudra atau rudra prana. Sambu memiliki makna bertemu atau bergabung. Versi lain Sambu berarti artinya kuat, berani, dan bijaksana. Sementara arti kata “Ranjana” dalam Bahasa Kawi adalah bergembira,” tulisnya.
Menurut tulisan Schwaber tahun 1851, terdapat kisah-kisah tertua Suku Dayak menjadi kaya dan kuat, serta hidup di kampung-kampung dikelilingi kebun yang luas dan indah, di bawah raja-raja mereka dan keturunannya.
“Sayang setelah beberapa waktu, mengalami kehancuran ketika orang asing yang datang dengan perahu menyerang penduduk dan menghancurkan wilayah, sehingga mereka meninggalkan wilayah Saranjana. Jadi urutannya sedikit berubah, Saranjana diduga muncul di masa kepercayaan Hindu lama di Pulau Laut, sempat eksis kemudian pindah karena agresi asing. Lokasi pusat pemerintahan yang ada, tetap dikenal dengan nama yang sama yaitu Saranjana, walaupun penghuninya sudah pindah. Karena itu sampai tahun 1850-an dan 1900-an masih ada di peta. Dalam perkembangannya nama Saranjana pun dianggap mistis seiring hilangnya dari peta,” beber Mansyur.
Beberadaan Saranjana yang didirikan Suku Dayak sendiri lanjut Ketua LKS2B Kalimantan dan Tim Riset LAKPL Kalsel ini lebih tua dibandingkan munculnya Suku Bajau/Bajo/Sama Bajau yang menghuni Pulau Laut sekarang.
“Berdasarkan sumber dari ceritera rakyat Putri Pa’pu, Suku Bajau mulai menetap di Pantai Pagatan sekitar tahun 1700-1701 atau sekitar awal abad ke-18. Dalam perkembangannya, karena ada perselisihan kemudian diambil kebijaksanaan oleh Raja Pagatan agar Suku Bajau sebaiknya berpindah tempat agak jauh dari Pagatan sehingga mereka berlayar menuju ke daerah Pantai Seblimbingan, Pulau Laut. Dalam perkembangannya, terjadi wabah muntaber di Pantai Seblimbingan, Pulau Laut sehingga banyak pemukim Suku Bajau meninggal dunia dan dikuburkan di Seblimbingan. Suku Bajau kemudian berlayar kembali dan berpindah ke daerah Pantai Kotabaru dan menetap sampai sekarang,” jelas Mansyur.