Puisi M. Amin Mustika Muda
Ruang ini terlalu terang untuk luka yang samar. Cahaya menempel di dahi pasien seperti pengakuan yang dipaksa keluar lewat formulir. Aku duduk sambil menahan napas, karena hidungku sudah tidak percaya pada udara. Yang kiri mogok. Yang kanan curiga. Setiap hembusan terasa seperti debat panjang antara paru-paru dan kenangan masa kecil yang penuh debu.
Di seberang, seorang ibu memegangi anaknya yang menangis karena telinga. Di dekat pintu, seorang lelaki muda membungkuk, memegang lehernya seolah sedang menyembunyikan sesuatu yang tumbuh dan tak diinginkan.
Bau disinfektan menusuk, tapi tidak cukup kuat untuk membuat hidungku merasa penting. Aku ingat dulu pernah mencium tanah basah setelah hujan, dan berpikir hidup ini bisa diterima. Sekarang bahkan bau nasi pun tidak bersuara. Tubuhku diam, tapi napasnya penuh debat yang tak selesai.
Mereka memanggil nama-nama dengan suara monoton. Seperti petugas stasiun yang lelah, tapi tetap harus bersuara. Setiap nama adalah sidik jari pada rekam medis. Dan kita semua ingin tahu. Apa yang salah. Kenapa telinga berdengung, tenggorokan perih, dan hidung mogok kerja seperti buruh yang tak dibayar.
Aku ingin menjelaskan bahwa aku tidak hanya sakit fisik. Aku juga lelah mencium kekosongan. Tapi tidak ada kolom untuk itu di formulir pendaftaran.
Di balik tirai biru, seseorang mengetuk-ngetuk stetoskopnya. Mungkin sedang menebak siapa yang akan ia temukan hari ini. Penderita sinusitis atau penyair yang kehabisan metafora.
Dan Aku bukan pasien. Aku adalah puisi yang tersumbat di lubang hidung kanan. Dan siapa pun yang memeriksa hari ini, semoga ia cukup sabar menyimak absurditas tubuh yang terlalu banyak menyimpan diam.
2025
M. AMIN MUSTIKA MUDA, Gemar membaca dan menulis fiksi serta puisi. Bermukim di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Beberapa karyanya pernah dimuat di media massa dan buku antologi. Menerbitkan buku puisi: Layang-layang Raksasa Sangkut di Atas Pohon Durian (Tahura Media 2016).