TERAS7.COM – Kota Banjarbaru yang digadang-gadang menjadi ibukota Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) sejak lama, akhirnya resmi menyandang gelar tersebut.
Dalam Undang-Undang tentang Provinsi Kalimantan Selatan yang disahkan DPR RI dalam rapat paripurna pada 15 Februari 2022 yang lalu, Kota Banjarbaru resmi menggantikan Kota Banjarmasin sebagai ibu kota Provinsi Kalsel.
Namun pencanangan Kota Banjarbaru menjadi ibukota bukan perjuangan yang terhitung baru, tapi sudah sejak lama.
Adalah Gubernur Kalimantan, dr. Murdjani yang menjabat antara tahun 1950–1953 yang menelurkan ide untuk memindahkan ibukota Provinsi Kalimantan masa itu ke daerah baru yang kemudian dikenal dengan nama Kota Banjarbaru.
Lalu bagaimana kemudian cerita pembangunan Kota Banjarbaru yang dirancang menjadi ibukota Kalimantan Selatan masa depan di masa itu?
Pindah Dari Banjarmasin : Karena Nyamuk?
Dikutip dari tulisan Dosen FKIP Unlam Banjarmasin Ersis Warmansyah Abbas yang dikutip di Wikipedia Indonesia, pemindahan ibukota tersebut karena berawal dari kondisi alam Kota Banjarmasin yang berawa dan kerap mengalami banjir.
“Akibat kondisi alam apel pagi sering harus berpindah tempat, ditambah pula dengan pandangannya tentang Banjarmasin yang berawa dan bernyamuk banyak, memunculkan gagasan memindahkan ibu kota Kalimantan ke tempat yang ideal. Sebagai ahli kesehatan masyarakat, Murdjani berkesimpulan Banjarmasin kurang ideal sebagai pusat pemerintahan. Tanahnya yang berawa-rawa mengakibatkan air menggenang sepanjang musim yang memungkinkan timbulnya berbagai penyakit,” tulisnya.
Apalagi Banjarmasin dikenal sebagai Kota Air, Kota Perdagangan dan Kota identitas historis Urang Banjar yang harus tetap dipertahankan, karena itu membangun ibu kota Kalimantan di Banjarbaru didasari pada pandangan pengembangan jauh ke depan.
“Untuk merealisasikan gagasannya, mulailah dicari tempat yang ideal. Murdjani melakukan survei ke daerah-daerah di luar kota Banjarmasin. Berbagai lokasi dikunjungi dan diamati, namun Murdjani kurang berkenan karena lokasinya masih berawa-rawa. Akhirnya, sampailah ia di daerah bertanah padat, lokasi Banjarbaru sekarang. Pada pandangan pertama, hatinya telah tergadai pada Banjarbaru. Melalui sidang staf dan pimpinan, dibentuklah tim kajian kelayakan dipimpin D.A.W. Van der Peijl. Tim Peijl melakukan kajian awal. Dalam perancangannya, planologi Banjarbaru digarap bekerjasama dengan para pakar dari Institut Teknologi Bandung,” terangnya.
Berawal Dari Gunung Apam
Berbeda dengan tetangganya, yakni Kota Martapura dan salah satu kecamatannya, yakni Cempaka, sejarah Kota Banjarbaru sebelum pencanangannya menjadi ibukota provinsi tidak terlalu jelas.
Dikutip dari buku “Banjarbaru Sejarah, Pesona, Potensi” yang ditulis Randu Alamsyah, cikal bakal pusat Kota Banjarbaru saat ini sama sekali tak diketahui, bahkan tak dihuni.
Ini berbeda dengan Martapura yang menjadi pusat Kesultanan Banjar sebelum dihapuskan Belanda dan Cempaka yang menjadi pusat pendulangan intan sejak abad ke 16 sudah dihuni selama berabad-abad.
Daerah yang sekarang menjadi pusat kota masih berupa hutan dan padang ilalang serta berbukit, dimana ada “jalur senyap” yang terbentang dari Ulin hingga akhirnya menyimpang pada dua jalan bercabang ke Cempaka dan Martapura.
“Orang-orang yang melintas menyebut kawasan ini sebagai Gunung Apam merujuk bentuk bukit yang seperti kue pipih, menanjak dalam jarak yang pendek. Ada sebuah warung di puncak tanjakan ini yang menjadi tempat peristirahatan para pendulang,” tulisnya.
Justru bagian yang paling popular kata Randu dari Banjarbaru saat itu berjarak sekitar 10 kilometer dari arah timur sebelum Gunung Apam yang sekarang disebut dengan Landasan Ulin.
“Kawasan ini memiliki nilai historis karena di sinilah lokasi Lapangan Udara Ulin yang telah dibangun di awal tahun 1930. Ulin dulunya adalah sebuah kewedanaan di bawah Kabupaten Banjar. Sebuah riwayat menyebutkan, sebagian besar wilayah Banjarbaru saat ini berada di bawah Kewedanaan Ulin,” lanjutnya.
Pelabuhan Udara Ulin sendiri dibangun saat pemerintah Belanda menggencarkan pembangunan infrastruktur penghubung jalan dan transportasi di Kalimantan, dimana lapangan udara ini mengambil tempat di sebelah selatan dari posisi bandara sekarang ini.
Konon wilayah tersebut dinamakan Landasan Ulin karena banyaknya Kayu Ulin yang disusun sebagai landasan pesawat terbang.
“Meski juga banyak para penyaksi sejarah yang sepakat bahwa penyebutan Ulin lebih merujuk ke material bangunan tangsi-tangsi yang menjadi markas pangkalan udara. Pada kenyataannya, beberapa bangunan menggunakan nama Ulin karena kayu hutan tropika basah yang tumbuh secara alami di wilayah Kalimantan menjadi bahan bangunan konstruksi rumah, jembatan, tiang listrik, dan perkapalan,” sebut Randu Alamsyah.
Pesawat pertama yang mendarat di Lapangan Udara Ulin pada tahun 1936 adalah pesawat milik maskapai Belanda yang membawa para pejabat-pejabat Hindia Belanda serta missie dan zending ke Kalimantan.
Di tahun 1941 ketika Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara, Lapangan Udara Ulin ini direbut dari tangan Belanda.
“Dalam tiga tahun masa pendudukannya, Jepang membangun kekuatan militer mereka di Lapangan udara Ulin. Beberapa bukti sejarah yang ditemukan adalah bunker dan terowongan angin tempat menembak para tentara Jepang di tahun 1945 saat pecah perang pasifik. Aktivitas kedirgantaraan yang meningkat seiring dengan perang Sekutu-Jepang membuat bandara ini beberapa kali dihancurkan, baik oleh sekutu maupun oleh Jepang sendiri. Sampai saat ini, kubangan-kubangan bekas mortir dan bom masih bisa ditemukan di wilayah yang dulunya menjadi landasan pacu bandara. Kerusakan sampingan akibat perang membuat bandara kemudian dipindah ke sebelah utara yang kemudian menjadi bandar udara sekarang,” ceritanya.
Kembali ke kawasan Gunung Apam yang saat itu belum dihuni, kawasan ini adalah puncak perbukitan di “jalur senyap” yang kemudian menjadi lintasan jalan Banjarmasin-Martapura, kira-kira berlokasi di lokasi Bank BRI Banjarbaru sekarang.
“Di samping lintasan jalan darat, juga lintasan pencari (pendulang) intan tradisional di belakang Unlam Banjarbaru saat ini. Lokasi strategis tersebut mengundang minat seorang penduduk membuka warung. Pewarung yang tidak diketahui nama dan asalnya itu, membuka warung kecil-kecilan, menjual minuman teh dan kopi. Wadai (kue) pendampingnya adalah apam (serabi). Tak dinyana, wadai apam tersebut kemudian diperuntukkan menjadi nama daerah tersebut,” tulis Ersis Warmansyah Abbas.
Konon kue apam tersebut sangat lezatnya hingga digemari banyak orang yang mayoritas adalah para pendulang intan dan sopir truk untuk melepas lelah sambil kongko-kongko.
“Kemudian penduduk dari Martapura dan daerah sekitarnya tidak ketinggalan memarakkan apam lezat tersebut. Bersamaan dengan populernya Warung Gaul Gunung Apam, beberapa orang penduduk mengikuti jejak Si Pewarung Perintis. Lama-kelamaan banyak orang yang mendirikan rumah di sekitarnya. Sejak itu, terbentuklah perkampungan penduduk yang populer disebut Gunung Apam. Secara administratif, Gunung Apam termasuk wilayah anak Kampung Guntung Payung, Kampung Jawa, Kecamatan Martapura. Pada perkembangannya, perkampungan itu makin ramai,” ungkapnya.
Van Der Pijl Cetuskan Nama Banjarbaru?
Setelah dilakukan kajian kelayakan, D.A.W. Van der Peijl yang menjadi Kepala Pekerjaan Umum Bagian Bangunan Kalimantan kemudian merancang Banjarbaru bersamaan dengan kota Palangkaraya sebagai kota modern yang tertata apik.
Pada tahun 1953 di daerah Gunung Apam tersebut mulai dibangun kantor-kantor pemerintahan untuk dinas-dinas, jawatan-jawatan tingkat provinsi, dan perumahan pegawai pemerintah.
Pembangunan dilakukan tanpa anggaran khusus sebagaimana layaknya persiapan sebuah ibu kota provinsi.
“Oleh karena itu, pembangunannya dilakukan sedikit demi sedikit. Modal dasar pembangunan hanya beleid dan kebulatan tekad Gubernur Kalimantan. Bahkan saat itu apa nama kota calon ibu kota Kalimantan itu pun belum terpikirkan. Dari penelusuran heuristic, tidak didapat secara pasti tentang oleh siapa dan kapan dicetuskan pertama kali nama Banjarbaru,” sambung Ersis Warmansyah Abbas.
Konon pada saat persiapan perancangan kota, Van Der Peijl katanya kebingungan tentang nama yang harus ditulisnya pada peta kota, tapi secara naluriah ditulislah Bandjar Baru.
Nama itu pulalah tambah Ersis Warmansyah Abbas yang dikatakannya ketika ditanya Pemerintah Pusat perihal dimana dan apa nama ibu kota Kalimantan yang baru.
Nama kota Banjarbaru pada awalnya bukanlah nama permanen karena penamaan tersebut didorong atas desakan situasional dalam pencantuman nama pada peta awal Banjarbaru dan kemudahan dalam surat-menyurat aktivitas pemerintahan.
“Nama permanen belum terpikirkan. Dengan kata lain, penamaan Banjarbaru hanyalah nama sementara, sangat tentatif, tetapi ternyata hingga saat ini tetap melekat. Tidak satupun keberatan diajukan oleh siapa pun. Banjarbaru kini telah menjadi nama permanen,” terang Ersis Warmansyah Abbas.
Kemudian secara resmi Gubernur Kalimantan RTA Milono yang menggantikan dr. Murjani melalui surat tertanggal 9 Juli 1954 No. Des-19930-41 mengusulkan pemindahan ibu kota Kalimantan dari Banjarmasin ke Banjarbaru pada Mendagri RI.
Kemudian pada tahun 1956/1957, provinsi Kalimantan dimekarkan menjadi empat provinsi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan menjawab aspirasi masyarakat yang menuntut daerahnya sebagai provinsi tersendiri.
Pemecahan Kalimantan ini sendiri lanjut Ersis Warmansyah Abbas dilakukan dalam rangka akselerasi pembangunan karena luasnya wilayah dan potensi yang dimiliki dipahami sangat mendukung sebagai provinsi sendiri.
“Apalagi pada masa itu, hubungan komunikasi dan transportasi, sangat minim. Hubungan antara Pontianak, Samarinda, dan Palangkaraya dengan Banjarmasin sangat sulit. Akibatnya roda pemerintahan kurang lancar yang berdampak kurang efektifnya pelaksanaan pemerintahan. Harap maklum, luas Kalimantan 52 kali pulau Jawa,” jelasnya.
Pemekaran tersebut kemudian berdampak terhadap rencana membangun ibu kota Kalimantan yang baru di Banjarbaru, karena pemekaran wilayah memerlukan biaya cukup besar, sementara anggaran belanja provinsi Kalimantan harus dibagi-bagi ke provinsi-provinsi baru, sehingga pembangunan Banjarbaru tidak mungkin diprioritaskan.
Meskipun demikian cita-cita menjadikan Banjarbaru sebagai pusat pemerintahan Kalimantan Selatan tidak surut.
“Hal ini terbukti DPRD Tingkat I Kalsel melalui resolusi 10 Desember 1958, No. 26a/DPRD-58 mendesak Pemerintah Pusat supaya dalam waktu singkat segera menetapkan Kota Banjarbaru sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan,” tulis Ersis Warmansyah Abbas.
Pembangunan Kota Masa Depan Dimulai
Pada tahun 1953, pembangunan perkantoran dan pemukiman di Banjarbaru yang dirancang oleh Van der Peijl di mulai, salah satunya adalah Kantor Balaikota Banjarbaru sekarang yang awalnya dibangun menjadi kantor Gubernur Kalimantan.
Di tanah yang berlokasi 35 kilometer dari arah timur Banjarmasin yang saat itu hanyalah sebuah perbukitan dalam lintasan jalan tanah yang kering dan menanjak dengan pemandangan hamparan jelujur ilalang dan hutan kecil yang diranggasi belukar, pohon nangka, kasturi, dan karamunting.
Namun kontur tanah yang keras di Banjarbaru menjadi berkah bagi daerah yang sekelilingnya dengan tanah rawa dan gambut.
Sebagai Kepala bagian Gedung dan Perencanaan dan Pelaksana Kota Banjarbaru, Van Der Peijl merancang dan membangun kota lengkap dengan kantor-kantor pemerintahan, rumah sakit, drainase, jalan dan permukiman.
“Dia bekerja keras, siang dan malam untuk mewujudkan mimpi menjadikan wilayah yang baru ini menjadi sebuah kota baru yang modern. Kota masa depan ini diberi kode proyek Bandjar Baru, sebagai isyarat kota ini bakal menjadi pengganti Banjarmasin yang di definiskan sebagai Banjar Lama. Uniknya Banjarbaru menjadi nama yang terus melekat sampai hari ini,” tulis Randu Alamsyah
Pada mulanya sambungnya, Piejl membagi rancangan Kota Banjarbaru menjadi lima kawasan yang dalam peta rancangan kota diberi kode Kawasan Banjarbaru I, II, III, dan IV masing-masing dibagi dalam skema warna yang berbeda.
“Dia menarik garis lurus ke masing-masing kawasan untuk jalan, dan memberi warna dengan pensil warna hijau untuk taman dan lapangan, merah untuk gedung istimewa, hijau lumut untuk perusahaan, ungu untuk kantor besar dan toko besar, biru untuk pertokoan kecil, dan kuning untuk perumahan rakyat bertipe sederhana. Dia menarik garis putus-putus sebagai trotoar dan garis panjang tebal untuk jalan besar, secara cermat membelah kota dengan penuh perhitungan, sarana-sarana sebagai prasyarat sebuah kota modern dilengkapi, berupa drainase, jalan, taman-taman dan ruang terbuka hijau,” kisah Randu Alamsyah.
Akhirnya pembangunan kota tersebut, termasuk fasilitas penunjangnya seperti klinik, sekolah, pasar, dan masjid bisa dikatakan rampung dibangun pada 1959.
Van Der Peijl sendiri menurut Randu Alamsyah mendesain Kota Banjarbaru dengan kara keristik kota taman yang telah menjadi tren di Eropa pada awal-awal abad 20. Kota-kota seperti ini didesain sebagai “kota yang baru di luar kota lama.”
“Ciri-cirinya adalah lingkungan yang masih asri, sepi dan alami. Konsep ini dikenal dengan garden city concept yang diperkenalkan oleh Ebenezer Howard, di tahun 1989, melalui bukunya Garden Cities of Tomorrow. Konsep Garden City banyak menjadi acuan perancangan kota modern di dunia,” terangnya.
Van der Peijl merancang lanskap Banjarbaru dengan pembagian yang nyaris sempurna, dimana di depan kantor pemerintahan disediakan lapangan luas yang kemudian diberi nama Lapangan Murdjani yang berfungsi sebagai alun alun kota.
Dari Lapangan Murdjani kemegahan terbentang dipisahkan melalui lajur-lajur jalan yang merekah ke empat arah, perkantoran dan permukiman, sekolah dan rumah sakit yang dibaginya dalam empat wilayah Banjarbaru 1, Banjarbaru II, Banjarbaru III, dan Banjarbaru IV.
“Permukiman juga dikelompokkan dan masih bertahan hingga kini. Masing masing dengan karakter dan ukuran rumah yang berbeda, 300 hingga 1.000 meter persegi. Tata letaknya rapi serta akses jalan dalam perumahan lebarnya mencapai 10 meter. Masing masing kompleks memiliki ruang terbuka hijau dan sekolah dasar,” katanya.
Secara unik, empat wilayah ini lanjut Randu Alamsyah bisa ditandai dengan nama nama jalannya.
Misalnya jalan-jalan di Banjarbaru I ditandai dengan nama bunga-bunga, sementara di Banjarbaru Il dengan nama rempah rempah, sedangkan pada Banjarbaru III dengan nama buah-buahan dan Banjarbaru IV dengan nama burung.
“Di semua kawasan ini, pohon-pohon ditanam sebagai penghijauan dan respirasi kota, di antaranya Trambesi dan Akasia. Taman-taman pun dibuat dengan fungsi yang sama sekaligus tempat bersantai warga perkotaan. Bagi Van Der Peijl, Banjarbaru, meski akan menjadi pusat pembangunan gedung-gedung pemerintahan dan permukiman pendudukan, tetapi juga harus menjadi kota yang nyaman bagi para penduduknya,” jelasnya.
Dari Pusat Perkantoran Jadi Pusat Keragaman
Walaupun kemudian gagal menjadi ibukota Provinsi Kalsel hingga beberapa dekade mendatang, kota yang dirancang Van Der Piejl ini dipilih jawatan-jawatan dan instansi-instansi pusat vertikal regional Kalimantan sebagai kantornya.
Randu Alamsyah menyebut ada tiga alasan yang membuat instansi instansi regional mendirikan kantor di Banjarbaru.
“Pertama, karena bisa memangkas anggaran untuk pengkajian wilayah, mereka hanya perlu memanfaatkan kajian planologi yang telah lebih dahulu dilakukan oleh Van Der Peijl yang telah mempelajari kontur tanah keras Banjarbaru. Kedua, karena lokasi ini hanya sejangkauan tangan dari Bandara Syamsudin Noor yang merupakan pintu masuk Kalimantan. Selain itu yang paling utama, adalah karena kota ini sedang dirancang sebagai ibukota Kalimantan, titik pusat dan hulu kemajuan Kalimantan,” ungkapnya.
Van Der Peijl yang saat itu sudah memasuki masa pensiun kemudian menjadi supervisor untuk Kantor Telkom, Kantor Pos, Kantor Jawatan Penerangan, Kantor Sosial, PLN, dan beberapa bangunan lain di Banjarbaru.
“Bersamaan dengan itu, kantor-kantor militer mulai dibangun : Angkatan Udara, Angkatan Darat, dan kepolisian. Banjarbaru di awal dekade 60-an bahkan menjelma sebagai kota para pilot. Di langit Banjarbaru, pesawat -pesawat tempur seperti Mig 15 dan Mig 21 kerap melintas dan memekakkan telinga,” sambungnya.
Maklum kata Randu Alamsyah, Landasan pacu di Bandara Syamsudin Noor saat itu menjadi pangkalan tentara AURI yang bertugas peristiwa Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Para tentara AURI tersebut diketahui kemudian menghuni perumahan di daerah Banjarbaru I, berdekatan dengan rumah Van Der Peijl di Kemuning 3.
Van Der Peijl sendiri menjadi supervisor bagi pembangunan kompleks-kompleks perumahan lainnya di sekitar rumahnya.
“Perumahan para pejabat militer dan sipil ini menempati mess-mess dan rumah-rumah dinas yang dibangun dan ditata dengan perhitungan yang teliti dan mendetail. Jika para tentara AURI menempati kawasan di Banjarbaru 1, para pejabat sipil dari jawatan perhubungan, pekerjaan umum, Telkom, berada di seberangnya, di Banjarbaru II,” tulisnya.
Tak hanya sendiri, para kepala dinas, kepala sekolah, guru, karyawan PLN, petugas Telkom, dan jawatan kantor Pos yang datang dari pulau pulau luar Kalimantan tersebut lanjut Randu Alamsyah turut serta membawa keluarga mereka.
“Mereka tinggal dalam rumah-rumah beratap lancip, berhalaman depan luas dengan pohon teduh. Setiap pagi, jalanan Banjarbaru dipenuhi oleh orang-orang berseragam dengan emblem berbeda berlalu lalang. Anak-anaknya, bersih dengan baju dan telah disetrika, masuk sekolah dengan sepeda atau diantar dengan mobil Dodge buatan Amerika atau Station Wagon buatan Jerman,” kisahnya.
Hal tersebut yang kemudian jelas Randu Alamsyah akan membentuk Banjarbaru saat ini yang merupakan kota dengan tingkat keragaman suku, bangsa dan budaya yang cukup besar di Kalsel.
Selain dihuni masyarakat Banjar, Kota Banjarbaru juga dihuni pendatang yang kebanyakan dari pulau Jawa, tapi ada pula yang datang dari Sumatera Utara, Bali hingga dari Indonesia Timur.
“Dalam satu malam, strata sosial menengah terbangun di Banjarbaru. Hierarkinya melebur dalam batas-batas yang lunak, hingga orang-orang tidak mungkin membedakan anak yang mana yang lebih kaya dari yang mana karena semua pejabat tinggal dalam rumah dinas dengan tipe sejenis. Anak-anak Banjarbaru bergaul dengan bahasa Indonesia dan saling memaklumi asal-muasal mereka. Kehidupan masyarakat generasi pertama, cara pandang dan pola pergaulan mereka secara tidak langsung memberi pandangan yang jelas tentang berbagai kekuatan politik, ekonomi, budaya, yang kemudian membentuk Banjarbaru saat ini,” simpulnya.