TERAS7.COM – Intan Trisakti Cempaka Banjarbaru mengguncang dunia batu mulia, tidak ada yang mampu menaksir harga hingga dijanjikan jaminan hidup sampai tujuh turunan.
Cempaka pun memilik sejarah besar yang sempat mengguncang dunia batu mulia yaitu ditemukannya intan berukuran telor unggas dengan berat 166,75 Karat, pada 26 Agustus 1965 oleh masyarakat setempat, yang mana intan dengan warna warni kemilaunya tersebut tidak untuk diperjual belikan, karena tidak ada yang mampu memberikan taksiran harga.
Masyarakat setempat hingga kini tidak mengetahui dimana keberadaan intan yang diberi gelar Intan Trisakti oleh Presiden Ir. Soekarno, terakhir kali mereka melihat saat intan dibawa ke Jakarta.
Hal itu diungkan oleh Anang Syahrim Pengelola Monumen Tugu Intan Trisakti, Desa Pumpung Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, yang mana hingga kini menurutnya 24 orang pendulang yang menemukan Intan Tersebut pun sudah meninggal dunia.
Peristiwa tersebut akhirnya diabadikan oleh pemerintah dengan membangun monumen Tugu Intan Trisakti Cempaka di Desa Pumpung tidak jauh dari lokasi pendulangan.
Tugu Intan Trisakti diresmikan pada 11 November 1997 oleh Gubernur Kalimantan Selatan Drs. H Gusti Hasan Aman.
“Tugu ini menjadi monumen mengingatkan bahwa Cempaka memiliki sejarah besar dalam penemuan intan dengan kualitas terbaik dan berukuran besar dibandingkan jenis intan lain di dunia,” ujarnya kepada wordpress-1348129-4951175.cloudwaysapps.com saat dijumpai di kediamannya di Desa Pumpung, Rabu (25/05/2022).
Anang Syahrim (60) juga menceritakan, asal mula ditemukannya Intan Trisakti oleh masyarakat setempat, dimana pada zaman dulu aktivitas pendulangan dikenal oleh masyarakat dengan sebuatan “Ma’ayak” yang mana tanah yang digali secara manual dimasukan ke dalam perahu atau jukung (perahu kecil masyarakat setempat) kemudian tanah tersebut di injak menggunakan kedua kaki dengan posisi duduk, untuk mesiah tanah dan batu-batu.
“Dahulu tidak ada mesin pendulangan seperti sekarang ini, jadi tanah itu digali kemudian di muat didalam jukung lalu kemudian di-ayak (Didulang) menggunakan kedua kaki,” ujar Syahrim.
Saat ma’ayak salah seorang pendulang, lanjut Syahrim, menemukan batu berbentuk kacubung sebesar telor unggas, yang mana kemudian batu tersebut dibacakan shalawat oleh pendulang lalu munculah kemilau berwarna putih, merah, kuning, hijau dan biru dari berbagai sisi.
“Jadi disini itu kalau menemukan intan harus dibacakan shalawat dulu agar cahaya kemilaunya keluar,” terangnya.
Setelah ditemukannya intan, para pendulang menawarkan intan tersebut untuk dijual, namun tidak ada satupun orang yang mampu menaksir harganya kala itu.
Mendengar informasi tersebut, pemerintah Republik Indonesia pun langsung mendatangi masyarakat setempat dan memberikan penawaran kepada mereka, dimana 24 orang yang menemukan intan tersebut dijanjikan diberangkat haji dan diberikan santunan dari pemerintah hingga tujuh turunan.
Pada akhirnya para pendulang pun mengiakan tawaran pemerintah, lalu mereka diberangkan haji.
“Iya semuanya mereka sudah Haji, tapi janji pemerintah untuk menjamin hidup para pendulang hingga tujuh turunan tidak ada hingga saat ini,” ungkap kecewanya.
Hingga kini anak cucu para pendulang yang menemukan intan trisakti masih terus mempertanyakan janji pemerintah, namun ia kembali menyayangkan pemerintah sekarang tidak mampu memenuhi permintaan mereka.
Syahrim menyadari, latar belakang pendidikan masyarakat cempaka pada waktu itu terbilang sangat rendah, sehingga mudah dibodohi.
Saat diminta dokumen atau surat perjanjian sebagainya yang menyebutkan janji tersebut, pada akhirnya mereka tidak bisa membuktikan, sehingga tidak ada dasar untuk pemerintah bisa memenuhi permintaan mereka.
Aktivitas pendulangan intan di Kecamatan Cempaka hingga kini masih menjadi bagian dari pekerjaan sehari-hari mereka, kini pendulangan sudah tidak lagi dilakukan dengan cara manual, namun sudah menggunakan mesin penyedot dan penyemprot tanah.
Syahrim mengungkapkan, setelah pendulangan menggunakan mesin, tidak sedikit pekerja yang meninggal dunia, seingatnya sudah ratusan orang meninggal dunia akibat terkubur saat kecelakaan pendulangan menggunakan mesin.
“Kalau dulu tidak ada menggunakan mesin bahkan hampir tidak ada korban, sekarang saat menggunakan mesin seingat saya sudah ratusan pendulang meninggal akibat tertimbun tanah,” kenangnya.
Saat ditanya perkembangan pasar intan dulu dan sekarang, ia mengatakan, Kecamatan Cempaka sebagai penghasil intan kemudian dijual mentah ke pasar Martapura, disana diolah atau dimasak sehingga berbentuk menjadi cincin, kalung maupun gelang.
“Harganya pun sangat miring, para pendulang di Cempaka dahulu menjualnya perkarat dengan harga hanya Rp. 750, namun saat diolah di Martapura kemudian menjadi barang jadi harga lebih mahal,” jelas Syahrim.
Seiring perkembangan zaman, ujar Syahrim, dengan kemajuan pendidikan sekarang masyarakat Cempaka sudah ada beberapa yang bisa mengolah intan, tidak jarang mereka juga langsung dihubungi oleh para pembeli dari luar negeri, seperti India, Jepang, Korea, Cina, Abudabi dan lainnya.
“Sering juga biasanya ketemuan di hotel atau dirumah para pembeli, karena kualitas intan yang kita miliki juga paling bagus dibandingkan negara-negara lain,” katanya.
Ia juga menjelaskan, bahwa Intan yang banyak dikenal masyarakat dari kota Martapura bukan berarti intan berasal dari martapura, tetapi intannya berasal dari tanah Cempaka Banjarabu, kemudian dijual ke Martapura untuk diolah oleh para pengrajin.
Menurut Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjarbaru Ahmad Yani Makkie mengatakan, keberadaan Tugu Intan Trisakti tersebut sebagai simbol mengenang ditemukannya intan yang berukuran besar yang sempat mengguncang dunia.
“Tugu tersebut sebagai penanda bahwa di desa itu dulunya pada 26 Agustus 1965 ditemukan intan besar oleh kelompok pendulang intan seberat 166,75 atau seukuran telur burung merpati,” katanya.
Sebagai upaya menjaga dan melestarikan sejarah yang dimiliki Banjarbaru, pihaknya juga selalu berupaya melakukan perawatan dan pembenahan Monumen Tugu Intan Trisakti.
“Tugu Intan Trisakti ini tentunya menjadi simbol Kota Banjarbaru dan kami berkewajiban untuk memelihara dan merawatnya, dan kami sudah menganggarkan untuk pemeliharaannya, bagaimanapun juga monumen ini kewajiban kami selaku dinas teknis untuk memeliharanya,” pungkasnya.