Peringatan !!!
Orang-orang sibuk, pekerja keras, workaholic, penggila kerja, dilarang keras membaca tulisan ini. Karena dapat menimbulkan rasa kantuk berlebihan, delusi, demensia, hernia, gatal-gatal, gangguan pencernaan serta dapat mengakibatkan penyusutan alat reproduksi.
Tulisan ini sengaja dibuat khusus untuk kaum rebahan, sing senengane klumbrak-klumbruk neng dipan, komunitas pargum (parsatuan guring malandau) serta para rocker (remaja ogah cari kerja).
It’s time to lazy, guys …
Tentu masih belum lekang dari ingatan sebahagian dari kita saat sekolah dahulu acapkali dijejali dengan petuah-petuah (yang katanya) bijak semisal “rajin pangkal pandai” dan “hemat pangkal kaya” yang narasinya biasanya ditempel di dinding-dinding kelas supaya lekat dalam ingatan.
Konon katanya kita akan menjadi pandai apabila belajar dengan rajin dan jika bisa hidup berhemat maka kita akan menjadi kaya. Sebaliknya jika malas, maka kita akan bodoh dan jika kita boros, maka kelak akan jatuh miskin.
Padahal faktanya tidaklah begitu-begitu amat, karena tentu saja akan berbeda-beda dalam aplikasinya serta pasti hasil akhirnya juga akan berbeda-beda antara satu individu dengan yang lainnya. Sebahagian mungkin benar. Sebahagiannya lagi keliru. Fifty-fifty lah (70-30).
Buktinya, masih ada saja yang sudah mati-matian rajin dalam belajar namun tetap tidak pandai-pandai juga, begitu pula ada yang hidup ketat berhemat-hemat sedemikian rupa tetap saja dirundung duka nestapa kemiskinan.
Sementara di lain pihak ada saja anak manusia yang sudah dianugerahi privilege boleh bermalas-malasan sejak dalam kandungan, namun tetap saja bisa kaya raya hingga ajalnya tiba.
Asu tenan …
Di era industri dan serba digital saat ini, masih saja tertanam stigma pada sebagian besar masyarakat kita bahwa untuk bisa sukses, atau bahkan sekedar mampu survive saja, orang harus bekerja sekeras-kerasnya.
Lantas bermunculan lah berbagai pepatah, peribahasa, kata-kata motivasi serta petuah bijak seperti saya sebutkan di atas bahwa untuk bisa hidup dengan pandai dan kaya raya kita diharuskan untuk belajar dan bekerja keras. Glorifikasi semacam ini lantas tak henti-hentinya ditebar-ajarkan bahkan sejak usia dini.
Belum lagi kemudian kita dicekoki beragam kisah kisah dan cerita sukses para saudagar tajir-melintir yang konon merupakan buah dari hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Manusia seolah dicitrakan tercipta hanya untuk jadi pekerja keras, bukannya makhluk pemalas.
Sementara itu, di saat yang bersamaan di tengah masyarakat tertanam pula stigma bahwa sifat malas adalah modal pokok dari segala kemelaratan dan kenistaan.
Para pegiat dan aktivis kemalasan, atau untuk gampangnya kita sebut saja para pemalas, acapkali ditempatkan pada posisi klasemen terbawah pada stratifikasi sosial. Nyaris terjerumus ke dalam jurang degradasi sampah peradaban.
Namun baiklah, jika ternyata ujung-ujungnya klaim sepihak persoalan bahwa kodrat manusia memang telah tertulis untuk hanya menjadi pekerja keras belaka ternyata benar adanya, maka kesimpulannya adalah semua yang telah diperjuangkan oleh para pegiat kemalasan itu bukanlah perkara enteng dan sepele (karena bisa saja itu adalah semaradona, secruyff, sezidane, seronaldo semessi, atau sembappe). Ini adalah persoalan melawan arus dan mungkin menantang takdir d̶a̶n̶ ̶d̶o̶y̶o̶k̶.̶
Tentu bukan menantang takdir dalam makna berani mendurhakai Yang Maha Kuasa. Sama sekali bukan. Bisa kualat ente!.
Karena sesungguhnya jika kita mau sedikit lebih jeli d̶r̶i̶n̶k̶ akan kita pahami bahwa setidaknya Tuhan Sang Maha Pencipta telah memberi isyarat kepada manusia dengan memberi celah dan ruang tertentu agar kita dapat menikmati fase kemalasan.
Tuhan telah menganugerahi manusia kecerdasan lantas mengajarkan kepada kita cara membuat kalender dengan fitur sisipan menarik berupa tanggal merah di setiap bulannya yang kehadirannya selalu disambut dengan penuh suka cita.
Boleh satu, dua atau lebih. Bahkan boleh secara beruntun, seperti saat cuti bersama hari lebaran di Indonesia.
Itu maknanya apa? Itu pertanda bahwa berkat sifat maha kasih-Nya jua lah, Tuhan telah menciptakan saat-saat tertentu dimana kita boleh merasakan betapa nikmatnya momen bermalas-malasan.
Hanya karyawan atau pelajar ‘kurang waras’ saja yang merasa masygul dan resah dengan kehadiran tanggal merah.
Saat itu kita boleh bangun kesiangan, lepas dari rutinitas yang menjemukan. Bahkan satu hari dalam seminggu Tuhan juga telah menyediakan waktu untuk kita melepaskan segala rutinitas kerja kita.
Hari istimewa dimana kita diperintahkan untuk berbakti kepada-Nya. Ada yang kena jadwal hari Jumat, ada pula yang hari Minggu. Dan itu pun nyatanya bukan full day juga hanya untuk kepentingan Tuhan semata.
Waktu buat berbakti kepada-Nya cuma membutuhkan beberapa jam. Paling banter 2 jam. Itu pun masih diperkenankan aktivitas selingan belanja pentol cilok. Setelahnya boleh leyeh-leyeh lagi. Time to lazy maneh, bray …
Dapat anda bayangkan, betapa beratnya beban yang harus dipikul seorang pekerja saat berjibaku, berjuang melawan dorongan dari dalam dirinya sendiri saat sibuk bekerja keras.
Sementara di sisi lain godaan kenikmatan bermalas-malas ria terus berkelindan di dalam benaknya. Tidak semua manusia dikaruniai bakat serupa itu. Dibutuhkan skill khusus yang didapatkan dari hasil ketekunan dalam level istiqomah yang advanced dan berkesinambungan. Wa bil khusus tekun dan konsisten dalam beristirahat dan berpikir santuy high level.
Buat apa susah-susah (s̷u̷s̷a̷h̷ ̷i̷t̷u̷ ̷t̷a̷k̷ ̷a̷d̷a̷ ̷g̷u̷n̷a̷n̷y̷a̷)̷ berpikir berat dan bekerja keras, kalau ̶h̶a̶n̶y̶a̶ ̶ ̶u̶n̶t̶u̶k̶ ̶m̶e̶n̶g̶e̶j̶a̶r̶ ̶l̶a̶k̶i̶-̶l̶a̶k̶i̶ ̶l̶a̶i̶n̶,̶ ̶b̶u̶a̶t̶ ̶a̶p̶a̶ ̶s̶i̶h̶ ̶b̶e̶n̶a̶n̶g̶ ̶b̶i̶r̶u̶ ̶k̶a̶u̶ ̶s̶u̶l̶a̶m̶ ̶m̶e̶n̶j̶a̶di̶ ̶k̶e̶l̶a̶m̶b̶u̶ muaranya agar kelak kita bisa hidup senang dan bergelimang akses, fasilitas dan privilege dengan segala kemudahan sehingga bisa hidup kita lebih enjoy, malas-malasan, tak perlu lagi bekerja keras.
Buang-buang waktu percuma. Mending bermalas-malasan sejak dini. Syukur-syukur jika dikaruniai umur panjang. Lha, bijimana kalau ternyata pendek usia? Sudah capek-capek kerja pontang-panting sejak usia muda, boro-boro menikmati udah keburu mati. Matinya tak husnul khatimah pula lantaran workaholic hingga lalai ibadah. Nauzubillahi min zalik.
Jujur sajalah, kita ini sebenarnya cinta dan sangat mendambakan kemalasan, hanya saja kita malu mengakuinya sehingga enggan pula memperjuangkannya. Kemalasan sebagai sebuah entitas sudah saatnya mendapat tempat terhormat dalam stratifikasi sosial masyarakat modern.
Kita patut untuk menjungkirbalikkan keadaan dari dominasi mayoritas menjadi setidaknya setara atau bahkan tirani minoritas. Bayangkan, betapa menyenangkannya ketika pada suatu masa kelak kaum pemalas nan bodoh mampu menguasai dan memimpin kaum cendekia dan pekerja keras.
Buat apa kita merasa malu? Kita bahkan sudah selayaknya berani memproklamirkan diri kepada khalayak ramai bahwa kita ini adalah pejuang dan pegiat kemalasan. Lha wong peradaban manusia rata-rata tercipta dari rasa malas.
Tidak Percaya? So, let’s cekidot together.
Ketika manusia masa lalu malas memanggul, memikul, mengangkat suatu benda berat, manusia lalu menciptakan roda dan gerobak. Tak berhenti di situ, kemalasan berikutnya muncul. Mendorong gerobak dengan tangan ternyata sangat melelahkan dan menguras tenaga itu sama saja artinya masih diperlukan kerja keras. Lalu manusia pun berpikir untuk menjinakkan dan memelihara hewan yang bisa menggantikannya untuk mendorong atau menarik gerobak temuannya. Selanjutnya terciptalah pedati, kereta kuda, delman, dll.
Demikian pula, pada awalnya manusia hanya berjalan kaki kemana-mana. Perasaan malas terus menggelayuti benaknya hingga membuatnya ingin menunggang kuda, bahkan kemudian membuat sepeda.
Naik sepeda pun kemudian dianggap lambat dan melelahkan hingga menimbulkan rasa malas baru, maka diciptakanlah sepeda motor. Sudah tercipta sepeda motor, masih malas juga lantaran harus menggenggam tuas kopling, menggeber gas dan over perseneling, lalu terciptalah motor matic (yang acapkali disalahgunakan oleh emak-emak masa kini).
Tak menutup peluang kelak (dan katanya memang sudah ada dipakai polisi Dubai) dengan dalih malas dengan kemacetan lalu lintas di darat, manusia lalu menciptakan motor terbang bermesin jet turbo seperti digambarkan dalam film-film science-fiction.
Masih banyak contoh yang bisa kita tunjuk sebagai referensi. Karena nyaris semua produk peradaban modern adalah buah dari sifat malas manusia. Capek kipas-kipas pakai tangan tercipta kipas angin listrik dan AC.
Malas mencuci pakai tangan, terciptalah mesin cuci. Malas menanak nasi dalam kuali di atas tungku kayu, terciptalah rice cooker, magic jar, magic com, w̶a̶r̶t̶e̶g̶ ̶d̶a̶n̶ ̶r̶u̶m̶a̶h̶ ̶m̶a̶k̶a̶n̶ ̶P̶a̶d̶a̶n̶g̶.
Malas mencet tombol pake tangan, terciptalah remote. Malas ngobrol tatap muka (karena udah eneg liat muka temen), dibuatlah telepon.
Malas mengerjakan pekerjaan rumah tangga, terciptalah pembantu rumah tangga. Malas nyinyir di alam nyata, terciptalah medsos.
Malas nyiksa orang pake tangan sendiri, terciptalah centeng dan bodyguard. Malas bayar utang, terciptalah manusia muka tembok dan sok galak. Eh, ini bukan ya?
Tentu akan lebih dramatik lagi jika saya kemukakan fakta sejarah bahwa si jenius Sir Isaac Newton memperoleh ilham perihal hukum gravitasi justru ketika lagi leyeh-leyeh, ngaso di bawah pohon apel lantas kejatuhan buah apel di kepalanya.
Lalu ada riwayat hukum Archimedes yang ditemukan oleh penemunya Archimedes juga (ya eyalah, masa hukum Archimedes ditemukan oleh Arbain?) ketika lagi pengen ngadem santuy di bak mandi gegara pusing bin stress memikirkan kasus kemurnian emas mahkota Raja Hieron II.
Sebagaimana kita maklumi bersama, bahwasanya semakin besar kekuasaan seseorang, maka semakin tidak independen lagipula pemalas pulalah ia. Semua serba mau dilayani.
Bahkan untuk memayungi diri sendiri dari terik dan hujan, berlarian kesana kemari dan tertawa saja tak mampu. Macam jenazah dalam keranda saja lagaknya. Tak mau bawa payung sendiri. Sungguh sangat absurd.
Demikian pula dalam kasus ini Raja Hieron II selaku penguasa Syracusa, sangat malas menyelidiki dan memecahkan persoalan yang sebenarnya menjadi beban bagi dirinya sendiri. Namun dengan kuasanya dia bisa memerintahkan sekaligus membuat pusing tujuh turunan tokoh secendekia Archimedes.
Tokoh-tokoh di atas memang bukan dikenal dunia sebagai aktivis kemalasan sih. Namun, setidaknya dari kisah mereka kita bisa belajar bahwa bermalas-malasan itu juga bisa membawa manfaat jika dilakukan dengan nawaitu yang lurus dan SOP (standard operating procedure, bukan standar operasional prosedur lho ya) yang benar.
Sudahlah. Berhentilah bersikap munafik dan berbangga diri mengaku-aku sebagai manusia rajin dan pekerja keras jika nyatanya masih merasa bahagia saat weekend namun kembali ruwet menjelang Senin, masih pengen ngambil cuti tahunan dengan dalih mau istirahat supaya bisa refresh, masih pengen liburan gratis ke luar daerah alias atas biaya dinas yang sah (abidinsah), dst.
Mulai sekarang berhentilah berpikir dikotomis bahwa orang yang rajin itu pasti bakal pandai dan kaya. Sebaliknya yang malas itu bakal bodoh dan miskin.
Tokh, faktanya banyak orang bodoh yang sukses dan kaya. Sebaliknya banyak orang yang rajin, pandai dan pekerja keras tetap saja tidak sukses apalagi kaya raya.
Sudah saatnya kita sepakati bersama bahwa kita ini sesungguhnya adalah para pencinta dan pendamba kemalasan yang istiqomah paripurna. Maka jadilah pemalas profesional yang mumpuni.
Berbahagialah wahai para pemalas.
Berikut kutipan petuah guru saya terkait tema kesantuyan di atas :
Syaraf tegang karena berpikir sehari-hari
Otot kejang karena bekerja sehari-hari
Santai santai
Yo kita santai agar syaraf tidak tegang
Yo kita santai agar otot tidak kejang
Yo kita santai agar syaraf tidak tegang
Yo kita santai agar otot tidak kejang
Satu hari di dalam satu minggu
Kita gunakan untuk bersantai
Macam-macam persoalan yang ada
Coba hari itu dilupakan
Santai santai
Yok kita santai***
Disclamer !!! Tulisan ini bukan untuk bahan tuntutan apalagi bahan untuk memulai perang, karena ini hanya sebuah tulisan yang tidak berarti apa-apa bagi yang (merasa dirinya) waras.
(sumber foto : pixabay)
Bang Asys
Seorang anak manusia yang berusaha menulis dengan baik namun selalu terganggu oleh tuntutan dan kondisi kehidupan